REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan Provinsi Jawa Timur, Andriyanto menanggapi diterbitkannya Peraturan Pemerintah nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. Dimana aturan tersebut menuai pro dan kontra di mata lembaga masyarakat, aktivis hukum, psikolog, dokter, serta akademisi.
Bila dicermati lagi, kata Andriyanto, definisi kebiri kimia dalam PP ini diakhiri dengan kata disertai rehabilitasi. Artinya, tujuan penjatuhan pidana ini tidak sebatas berorientasi pada pembalasan, tapi harus dipastikan memberikan manfaat, yaitu mencegah kejahatan (prevensi) sebagai tujuan utama pemidanaan.
"Tujuan kebiri kimia dalam PP ini jelas ini menjadi upaya yang sangat penting mengingat sistem peradilan pidana di Indonesia bertujuan untuk pemasyarakatan narapidana serta pencegahan kejahatan dan tidak semata-mata pembalasan," ujar Andriyanto melalui siaran tertulisnya, Jumat (8/1).
Andriyanto menjelaskan, kata disertai rehabilitasi juga bisa diartikan bahwa kebiri kimia sebagai suatu tindakan yang terpisah dari upaya rehabilitasi. Padahal, seharusnya kebiri kimia dilakukan justru dalam rangka rehabilitasi pelaku.
Di beberapa negara, kebiri kimia terbukti efektif justru dilakukan secara sukarela oleh pelaku. Ini karena, pelaku menyadari bahwa ia terganggu karena dorongan seksual dalam dirinya yang sangat tinggi.