Jumat 08 Jan 2021 20:34 WIB

Hukum Arisan Bagi Muslimah

Arisan sejatinya tidak ada transaksi yang sifatnya terlarang

Rep: Imas Damayanti/ Red: A.Syalaby Ichsan
Hitung dengan matang pendapatan sebelum ikut arisan/ilustrasi
Foto: savingsroom.com.au
Hitung dengan matang pendapatan sebelum ikut arisan/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Arisan tidak asing bagi telinga kaum hawa. Aktivitas ini adalah bagian dari tradisi yang marak dilakukan oleh kelompok masyarakat sejak lama. Sejatinya, karena berasal dari tradisi, arisan dalam perspektif syariat perlu ditegaskan lebih jauh. Apakah arisan menimbulkan kemudharatan atau kemaslahatan? Lantas bagaimana hukumnya bagi Muslimah untuk mengikuti arisan?

Secara formal, pengertian arisan adalah kegiatan mengumpulkan uang, arisan barang, juga paket tertentu seperti arisan umrah. Dalam arisan umrah, misalnya, walaupun peruntukannya bukan uang, tetapi kontribusi dan yang diterima oleh peserta adalah uang. Setelah itu dengan uang tersebut maka dibelikan paket perjalanan umrah.

Dalam buku Fikih Muamalah Kontemporer karya Ustaz Oni Sahroni dijelaskan, secara formal pengertian arisan adalah sebuah kegiatan yang mengumpulkan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi. Lalu di antara anggota arisan menentukan siapa yang berhak memperoleh arisan melalui beragam skema undi.

Pada hakikatnya, secara sederhana, arisan adalah bagian dari pinjam-meminjam. Jika ada sepuluh orang mengikuti suatu arisan, ketika Muslimah A menang undian maka ia telah meminjam sembilan uang arisan dari anggota lainnya. Kemudian, Muslimah A akan menggantinya secara berangsur sesuai jatuh tempo waktu undi arisan.

Simpan pinjam antara pihak yang mendapatkan bagian dan sisa anggota lain sebagai kreditur itu diperbolehkan untuk menjaga. Ustaz Oni menjelaskan, arisan memiliki beberapa sifat yang harus dicermati. Pertama, arisan adalah sebagai ta’awun (tolong-menolong) dan adab meminjam. Kedua, jika arisannya bukan uang, misalnya, paket perjalanan umrah, harus ada kejelasan tentang harga perjalanan umrah itu. Jika terjadi perubahan harga dan selisih, hal ini juga harus dibicarakan sedari awal arisan digelar.

Ketiga, jika tuan rumah harus menyediakan makanan dan sejenisnya untuk menghormati tamu, hal itu diperkenankan. Mengeluarkan makanan dan sejenisnya di sini tidak dihitung sebagai bagian dari riba yang haram, tetapi sebagai bagian dari adab menghormati tamu sebagaimana dipahami oleh kelaziman dan tradisi masyarakat.

Di sisi lain, Ustaz Oni menekankan bahwa arisan merupakan pinjaman yang bergilir yang disebut transaksi sosial (tabarru). Hal ini tak dilarang dan justru dianjurkan dalam Islam, selama ada niat untuk menunaikannya sebagaimana yang dikatakan Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadis dijelaskan: “An Abi Hurairata RA qala: qala Rasulillahi SAW: man akhadza amwaalannaasi yuridu adaa-aha addallahu anhu, wa man akhadza amwaalannaasi yuridu itlaafaha atlafahullahu.”

Yang artinya: “Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang meminjam harta orang dengan niat ingin ditunaikan (dibayar), niscaya Allah akan menolongnya untuk dapat menunaikannya. Sebaliknya, barang siapa yang mengambil harta orang lain untuk memusnahkan (dirusak), maka Allah akan memusnahkannya.”

Arisan secara umum, kata Ustaz Oni, memiliki motif untuk saling tolong-menolong sesama peserta. Para anggota berharap dengan angsuran tersebut mereka bisa menabung dalam jumlah tertentu untuk memenuhi hajat mereka atau berutang untuk dilunasi secara berkala.

Dia juga menggarisbawahi bahwa dalam arisan sejatinya tidak ada transaksi yang sifatnya terlarang. Hal ini juga sesuai jika merujuk pada kaidah umum dalam bermuamalah, yakni: “Al-ashlu fil-asyaa-I al-ibaahatu illa an yadulla dalilun ala at-tahrimi.” Yang artinya: “Pada dasarnya, segala sesuatu termasuk muamalat, boleh dilakukan."

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement