REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokyo menerapkan keadaan darurat untuk kedua kalinya pada Jumat (8/1). Banyak penduduk kota itu yang menjadi merasa berat dan bahkan tidak yakin bisa menggelar Olimpiade 2021 dengan aman.
"Saya kira sulit. Mustahil menggelar Olimpiade," kata Tatsuhiko Akamasu (75 tahun) yang mengunjungi Tokyo dari Saitama pada Jumat. "Tinggal dua setengah bulan lagi pawai obor Olimpiade. Saya kira kami tidak akan bisa mengendalikan virus selama periode ini."
Pawai obor Olimpiade yang biasanya menandai hitung mundur Olimpiade, akan dimulai di Fukushima pada 25 Maret. Sekitar 15.000 atlet dari seluruh dunia diperkirakan akan datang ke Tokyo demi meramaikan Olimpiade ini.
Hal tersebut yang membuat sebagian warga Tokyo merasa khawatir. "Saya kira interaksi antar manusia akan membuat semakin cepat menyebarnya virus Corona. Saya merasa itu agak mengerikan," kata Yuki Furusho, mahasiswa berusia 23 tahun, seperti dikutip Reuters.
Hisashi Miyabe, warga berusia 74 tahun, tidak terlalu yakin Tokyo bisa mengadakan Olimpiade. ''Pada beberapa hal, saya lebih memilih pemerintah membuat keputusan untuk membatalkannya," kata Hisashi Miyabe.
Pada Maret 2020, Pemerintah Jepang dan Komite Olimpiade Internasional (IOC) sudah memutuskan menunda Olimpiade Tokyo selama satu tahun akibat pandemi virus Corona baru. Ajang olahraga multievent global itu dijadwalkan tinggal sekitar 200 hari lagi, mulai 23 Juli sampai 8 Agustus.
Perdana Menteri Jepang, Yoshihide Suga, menegaskan tekadnya untuk tetap menggelar Olimpiade ini. Namun, jajak pendapat yang diadakan stasiun televisi NHK bulan lalu menunjukkan sepertiga penduduk negara itu ingin Olimpiade tersebut dibatalkan. Mereka khawatir banjirnya orang asing ke negaranya saat perhelatan itu digelar, bisa kian menaikkan kasus infeksi Covid-19.
Dalam jajak pendapat yang sama, sebanyak 31 persen responden mendukung penundaan lagi. Sedangkan, 27 persen lainnya menyatakan Olimpiade harus diselenggarakan sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan.