REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG -- Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un berambisi meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang terisolasi itu. Rencana tersebut tampaknya akan menghadapi kenyataan yang pahit.
Dalam pidatonya yang dirilis Ahad (10/1) ini, Kim mengatakan perekonomian Korut tertahan sanksi-sanksi internasional dan krisis yang tak diduga sebelumnya seperti bencana alam dan pandemi virus corona. Ia juga menyalahkan pejabat yang gagal mengatasi masalah-masalah tersebut.
Kim ingin impor Korut lebih independen. Ia juga berencana menumbuhkan semua industri dan mereformasi cara kerjanya.
Namun CEO Korea Risk Group, lembaga pemantau Korut, Chad O’Carroll, perekonomian Korut yang kian menyusut membuat Kim sulit mewujudkan janji-janji tersebut. Selain itu juga berpotensi memotong sumber daya untuk mendanai proyek-proyek pertahanan.
"(Tidak ada) niat yang jelas dalam melakukan reformasi, mencabut sanksi atau membuka perekonomian," cicit O'Carroll di Twitter seperti dilansir dari Reuters.
Sejak Kim berkuasa 2011 standar kehidupan masyarakat Korut meningkat drastis. Terutama setelah pasar berkembang dan komoditas dapat ditemui di mana-mana. Tetapi Korut sedang menghadapi tantangan terberat sejak krisis kelaparan tahun 1990-an.
Sementara proyek-proyek pariwisata, zona ekonomi, dan rumah sakit besar mengalami kebuntuan. Rencana Kim itu disampaikan dalam kongres Partai Buruh Korea yang pertama kali digelar sejak tahun 2016.