REPUBLIKA.CO.ID, LIMA -- Pada 11 Januari 1962, sekurangnya 2.000 orang diyakini tewas setelah batu dan es mengalami longsor dan mengubur seluruh desa pegunungan dan beberapa pemukiman di barat laut Peru. Jutaan ton salju, bebatuan, lumpur, dan puing-puing berjatuhan dari gunung berapi Huascaran.
Desa Ranrahirca dan sebagian besar penduduknya hancur bersama dengan delapan kota lainnya. Wali kota Alfonso Caballero mengatakan, hanya sekitar 50 dari 500 penduduknya yang selamat.
"Dalam delapan menit Ranrahirca dihapus dari peta," katanya dikutip laman BBC History. Awalnya upaya bantuan terhambat oleh badai yang memicu tanah longsor yang dahsyat. Namun diyakini hanya ada sedikit yang selamat.
Kepala Layanan Darurat, Kolonel Umberto Ampuera mengatakan, bencana itu seperti pemandangan dari Inferno Dante. Dia meminta bantuan kepada Pemerintah Peru untuk memulihkan komunikasi yang rusak dan menjangkau siapa saja yang lolos dari tanah longsor.
Dua pesawat Angkatan Udara Peru telah membawa pasokan bantuan ke daerah tersebut. Sementara pasukan telah dikirim ke sana untuk membuka jalan ke Ranrahica dan daerah lain yang terputus oleh longsoran salju.
Sebuah dinding besar es dan bebatuan, setinggi sekitar 12 meter dan tinggi 1 km (1.000 yard), bergemuruh di Sungai Santa. Sungai naik delapan meter membawa serta segala sesuatu yang dilaluinya menuruni lembah Rio Santa.
Jasad korban telah ditemukan di pelabuhan Chimbote, 60 mil dari lokasi tragedi, tempat sungai bertemu dengan laut. Setelah bencana ini, Presiden Palang Merah Peru, Roberto Thorndike, memperkirakan antara 2.000 dan 2.500 orang tewas.
U Thant, penjabat Sekretaris Jenderal PBB telah menawarkan bantuan kepada Peru untuk meringankan situasi. Dalam telegram kepada Presiden Manuel Prado, dia mengatakan perwakilan dari badan bantuan teknis PBB dan dana anak-anak PBB akan siap memberikan bantuan apa pun yang diperlukan dari mereka.