REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Bukan rahasia umum lagi jika kedelai impor masih menjadi bahan utama para perajin memproduksi tahu dan tempe di Indonesia. Tak terkecuali di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat di mana para perajin masih mengandalkan kedelai impor untuk produksi.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan, Kota Tasikmalaya, Tedi Setiadi mengatakan, dalam satu bulan kebutuhan kedelai di Tasikmalaya mencapai 520 ton. Namun, mayoritas kebutuhan itu dipenuhi dari kedelai impor.
"Itu karena kualitas kedelai dari (impor dari) Amerika (dinilai perajin) baik. Yang lokal itu tidak begitu bagus kualitasnya, jadi tidak dimanfaatkan oleh perajin tahu dan tempe. Karena tidak begitu berkembang," kata dia, Senin (11/1).
Menurut dia, salah satu penyebab kualitas kedelai lokal tak terlalu baik untuk dijadikan bahan membuat tahu dan tempe adalah panen yang setengah matang. Menurut dia, sekira 50 persen kedelai yang ditanam petani di Kota Tasikmalaya dipanen dalam kondisi setengah matang.
Tedi mencontohkan, pada 2020 pihaknya mengadakan program penanaman kedelai 100 hektare lahan di Kota Tasikmalaya. Namun, hasilnya para petani lebih memilih memanen kedelainya dalam kondisi setengah matang.
"Petani panen tidak matang, karena bisa untuk cemilan. Kemudian operasionalnya jadi lebih murah. Akibatnya, untuk buat tahu tempe tidak begitu bagus," kata dia.
Ia menambahkan, Pemkot Tasikmalayan akan lebih mendorong agar para petani berkenan untuk menanam kedelai. Namun, ia juga meminta Kementerian Pertanian (Kementan) dapat menyediakan bibit unggul kedelai untuk diproduksi lokal.
"Jadi para petani mampu bersaing dari luar negeri. Kalau sekarang kan kalah bersaing," kata dia.