REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Hubungan Iran dan AS memanas. Sanksi yang dijatuhkan oleh AS dan pembunuhan terhadap ilmuwan nuklir Iran dan Jenderal Qassem Soleimani tak membuat Teheran tunduk. Justru, Iran mengumbar berbagai peringatan, termasuk dengan pengayaan uranium hingga tingkat 20 persen. Iran juga berjanji akan membalas pembunuhan Jenderal Soleimani oleh AS.
Momen paling menarik perhatian ketika empat bulan lalu, segerombolan drone bersenjata yang terbang rendah dan rudal jelajah menghantam tangki minyak di pusat industri perminyakan Saudi.
Iran membantah bertanggung jawab atas serangan itu, tetapi AS telah menyimpulkan bahwa Teheran berada di belakangnya, dengan mengirimkan drone dan rudal dari Iran atau Irak selatan.
Para pejabat mengatakan bahwa serangan itu menunjukkan bahwa teknologi Iran lebih maju dari yang diperkirakan badan intelijen AS. “Serangan terhadap ladang minyak di Saudi sangat mencengangkan di kedalaman keberaniannya,” kata kepala Komando Pusat Pentagon, Jenderal Kenneth F. McKenzie Jr., dalam sebuah wawancara baru-baru ini.
Militer konvensional Iran telah memburuk secara parah selama isolasi sejak revolusi Islam 1979. Namun, Teheran telah menghabiskan beberapa dekade itu mengembangkan kemampuan yang kurang konvensional, termasuk paling kuat di dunia dan yang cocok untuk melakukan perang asimetris melawan negara adidaya seperti AS.
Iran memimpin salah satu persenjataan rudal balistik dan jelajah terbesar di kawasan itu. Kemudian, terdapat pula jaringan sekutu kelompok militan di sekitar kawasan dengan sebanyak 250 ribu pejuang. Ada pula tim peretas komputer yang menurut pejabat AS termasuk di antara yang paling berbahaya.
Teheran telah mengembangkan drone bersenjata dan pengintai yang canggih. Meski tidak memiliki angkatan laut konvensional yang kuat, mereka telah mencari cara lain untuk menghentikan aliran minyak Teluk Persia dengan armada kapal cepat kecil dan timbunan ranjau bawah air.
"Kemampuan ofensif mereka secara drastis lebih besar daripada kemampuan pertahanan yang digunakan untuk melawan mereka," kata analis di Royal United Services Institute, pusat penelitian keamanan London, Jack Watling, dikutip dari nytimes.