SUARA MUHAMMADIYAH -- Dalam suasana rentan, panik, dan tidak berdaya karena suatu bencana, masyarakat sering bertindak tidak masuk akal dan bahkan melakukan kesyirikan. Ada yang merespons dengan kepasrahan, ritual-ritual mistik, hingga dengan pengobatan atau sesuatu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Masyarakat kadang memvonis semua bencana terjadi karena manusia melanggar syariat. Bencana dipandang sebagai hukuman kemarahan Tuhan, dan korban bencana dinilai sebagai pelaku maksiat. “Dengan cara berpikir demikian, pihak yang paling kasihan adalah korban bencana karena harus mengandung derita ganda. Mereka sudah kehilangan segalanya, mulai dari harta, nyawa sanak famili, bahkan kebahagiaan hidup, sekaligus juga mereka menjadi sasaran kutukan pihak lain.”
Perubahan cara pandang masyarakat terhadap bencana perlu dilakukan dengan tetap berpijak pada ajaran dan doktrin keagamaan. Oleh karena itu, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyusun Fikih Kebencanaan (2015) guna memahamkan tentang konsep bencana, memaknai bencana, cara pandang pengelolaan bencana, pemenuhan hak korban bencana, dan masalah ibadah dalam situasi bencana. Hasil Munas Tarjih tentang Fikih Kebencanaan tersebut disahkan melalui SK No. 102/KEP/I.0/B/2015 tanggal 29 Syakban1436 H/16 Juni 2015 M.
Fikih Kebencanaan tidak dalam pengertian fikih tentang hukum kongkret (al-ahkam al-far’iyah) semata, namun juga mencakup seperangkat ketentuan Islam tentang nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyah) dan prinsip umum (al-ushul al-kulliyyah). Ijtihad kolektif Majelis Tarjih selama ini dilakukan dalam kerangka menggali tiga ketentuan tersebut.
Pemahaman yang tepat tentang bencana akan melahirkan sikap arif dan bijak, berpijak pada hukum sains, menjalani proses pencegahan dan mitigasi bencana. Bencana merupakan hal yang niscaya, tinggal mengubah cara kita mensikapinya. Merespons bencana apapun, manusia harus mampu bangkit, memelihara harapan, dan melanjutkan hidup. Masyarakat yang tidak terkena bencana punya kewajiban membantu pemenuhan hak korban bencana dan memulihkan keadaan secara bermartabat.
Fikih Kebencanaan memahami bahwa bencana merupakan wujud kasih sayang Allah kepada manusia. Bencana merupakan ujian dan cobaan keimanan. Orang beriman akan memahami bahwa apapun yang menimpa mereka adalah “kebaikan” dari Allah yang Rahman dan Rahim. Bencana merupakan ketetapan dan ketentuan (takdir) dari Allah.
Ada bencana yang terjadi karena perubahan siklus alam yang tidak ada kaitannya dengan manusia seperti gempa; dan ada bencana yang terkait dengan perilaku manusia dalam menjalankan fungsi kekhalifahan, semisal eksploitasi alam. Bencana bisa terjadi karena “dosa sosiologis” manusia yang salah perhitungan terhadap alam, seperti membangun pemukiman di lereng gunung sehingga terjadi longsor dan banjir.
Tim Perumus Fikih Kebencanaan menemukan beberapa istilah dalam Al-Qur’an yang memiliki padanan serupa dengan bencana: musibah, bala’, fitnah, ‘azab, fasad, halak, tadmir, tamziq, ‘iqab, dan nazilah. Masing-masing kata tersebut memiliki penekanan makna dan konteks berbeda. Pemahaman masing-masing istilah ini akan meluaskan cara pandang dalam memaknai bencana secara positif.
Fikih Kebencanaan memuat fikih ibadah dalam suasana darurat bencana dahsyat, semisal sahnya salat dalam keadaan najis dan aurat tidak tertutup, atau tentang batasan waktu jamak salat pada saat bencana dipahami sebagai kesukaran (masyaqqah) dan kesempitan (haraj). Fikih Kebencanaan memahami dua prinsip umum: kemudahan (taysir) dan perubahan hukum sesuai dengan perubahan situasi (tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-azminah wa al-amkinah). Islam tidak membebani di luar kemampuan manusia. Di luar itu, terdapat ketentuan maqashid syariah dan fikih prioritas. (muhammad ridha basri)