REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING — Menjelang datangnya tim penyelidik virus corona dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ke Wuhan pada Kamis (14/1) ini, China diketahui melakukan kembali lockdown. Ada sekitar 22 juta rumah yang kini di-lockdown di China.
Dikutip dari The New York Times, daerah yang diisolasi antara lain adalah kota Shijiazhuang, Xingtai, dan Langfang, bersama dengan kabupaten di provinsi Heilongjiang dan distrik di ibu kota Beijing. Menurut laporan, lockdown besar-besaran itu juga dikabarkan berdampak pada dua kali lipat jumlah lockdown tahun lalu.
Berdasarkan laporan, lockdown itu dilakukan menyusul teridentifikasinya kasus Covid-19 baru di sekitar Beijing. Diduga virus menyebar dari sebuah pesta pernikahan di sebuah desa.
"Itu akan menjadi angka yang disambut baik di negara-negara yang mengalami kasus jauh lebih buruk - termasuk Amerika Serikat, yang rata-rata menangani lebih dari 250 ribu kasus baru per hari. Namun itu adalah yang terburuk di China sejak musim panas lalu," tulis New York Times pada Kamis (14/1).
China diklaim akan mengarantina dua kota dengan lebih dari 17 juta orang, Shijiazhuang dan Xingtai. China juga memerintahkan untuk menguji kasus hampir setiap penduduk di sana yang diselesaikan dalam hitungan hari.
Pihak otoritas akan menutup transportasi dan membatalkan pernikahan, pemakaman, dan yang paling penting, konferensi Partai Komunis provinsi. Pada pekan ini, lockdown diperluas hingga mencakup kota lain di tepi Beijing, Langfang, serta sebuah kabupaten di Heilongjiang, provinsi timur laut. Distrik di Beijing juga ditutup.
Hingga kini, Komisi Kesehatan Nasional China belum melaporkan kematian baru. Namun Organisasi Kesehatan Dunia, yang menggunakan informasi dari China, sejauh ini telah mencatat ada 12 kematian pada 2021. Komisi Kesehatan Nasional tidak menanggapi permintaan untuk menjelaskan perbedaan tersebut.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, dan pakar intelijen dan kesehatan AS memang telah lama skeptis terhadap infeksi Covid-19 China dan jumlah kematian yang dialaminya. Kendati demikian, Perdana Menteri China Li Keqiang dalam sidang kabinet Jumat lalu mengatakan dalam proses pencegahan dan pengendalian penyakit menular, salah satu poin kunci adalah mencari kebenaran dari fakta.
"Hal itu untuk secara terbuka dan transparan merilis informasi epidemi dan tidak pernah membiarkan menutupi atau tidak melaporkannya," kata Li Keqiang.