REPUBLIKA.CO.ID, TEGAL -- Rektor IPB University, Prof Dr Arif Satria sangat mengharapkan teknologi Agromaritim 4.0 dapat segera diadopsi oleh petani di Indonesia. "Teknologi ini saya kira sifatnya sudah di luar pakem. Oleh karena itu kolaborasi antara IPB University dengan pemerintah maupun petani menjadi penting," ujar Prof Arif Satria, saat panen bawang putih dari hasil aplikasi teknologi temuan pakar IPB yaitu ultra-fine bubbles di Desa Tuwel Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Kamis (14/1).
Lebih lanjut Prof Arif menyampaikan teknologi ultra-fine buble diharapkan dapat menjadi problem solver bawang putih. Pasalnya, sampai saat ini lebih dari 90 persen kebutuhan bawang putih dalam negeri masih dipasok dari produk impor.
"Produksi bawang putih kita masih berkisar antara 86 ribu ton, sedangkan impor kita mencapai lebih dari 400 ribu ton. Ini jauh sekali antara produksi dan impor," terangnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Oleh karena itu, lanjutnya, Indonesia harus segera melakukan pemetaan (mapping) daerah potensial mana yang bisa ditanami. Di saat yang sama, perlu dihasilkan teknologi-teknologi yang bersifat terobosan.
Dengan demikian kita tidak lagi bergantung pada impor bawang putih dari China maupun negara lain. Kita justru bisa memproduksi lebih banyak dengan bantuan teknologi tersebut," pungkasnya.
Terkait teknologi ultra-fine bubbles, Prof Dr Y Aris Purwanto, dosen IPB University dari Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian menerangkan inovasi tersebut merupakan inovasi sederhana. "Kita hanya membuat gelembung yang sangat halus di dalam air dan ukurannya nano yaitu sekitar 100-300 nano meter. Gelembung ini kita injeksikan ke air dan itu bisa bertahan lama, sehingga dapat meningkatkan oksigen terlarut (dissolved oxigen/DO)," ujar Prof Aris.
Jadi kandungan oksigen di dalam air itu akan naik. Dengan naiknya kandungan oksigen di dalam air ini, ternyata mempunyai korelasi dengan percepatan germinasi. "Sehingga apabila benih bawang putih direndam dalam air ini, maka dia akan membuat benih itu lebih cepat tumbuh. Jadi kalau petani mau menanam, akan melihat plumulanya itu tumbuh lebih dari 60 persen," jelasnya.
Keunggulan inovasi ultra-fine bubbles ini adalah mempercepat masa muncul umbi bawang putih. Selama ini, petani harus menunggu lima sampai enam bulan supaya benih bawang putih dapat ditanam. Sementara, teknologi ultra-fine bubble dapat mempercepat waktu tanam bawang putih yaitu hanya dua sampai tiga bulan. "Dari sisi efisiensi waktu penyediaan benih akan menjadi lebih cepat dan siap tersedia kapanpun petani membutuhkan untuk menanam," jelas Prof Aris.
Dalam pengembangannya, Prof Aris bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk menghasilkan generator fine bubble. Teknologi ini bisa digunakan di berbagai tempat dan lokasi. "Hasil teknologi ini tergantung varietas yang digunakan. Kalau memakai varietas Tawangmangu hanya perlu waktu satu bulan sudah siap tanam. Kalau varietas Sanggar Sembalun memerlukan waktu dua sampai tiga bulan baru bisa ditanam," tambah Prof Aris.
Sementara, Ahmad Maufur, petani mitra di Desa Tuwel mengaku teknologi ini sangat membantu para petani. "Kami sangat senang karena kami bisa menanam bawang putih lebih cepat," terangnya.
Maufur juga menjelaskan, sebelumnya IPB University melalui Prof Sobir telah membantu pihaknya dengan inovasi double chromosom bawang putih. Inovasi ini mampu meningkatkan ukuran bawang putih yang dihasilkan oleh petani.
Dirinya juga menerangkan, dalam implementasi inovasi dari IPB University, petani di Desa Tuwel, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal dibantu oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan dan Bank Indonesia Kabupaten Tegal. Dengan bantuan ini para petani turut semangat menanam bawang putih di desanya.
"Pada tahun 1990-an desa kami pernah berjaya dengan bawang putihnya. Di samping itu, bawang putih dari tempat kami ini memiliki kandungan gizi 15 kali lebih tinggi dibandingkan bawang putih impor. Oleh karena itu, kami ingin mengembalikan kejayaan kami di masa lalu itu," pungkas Maufur.