REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku.
Hari ini kabar duka kembali menggelayuti negeri tercinta. Setelah 16 hari berjuang mengikhtiarkan kesembuhannya, Syeikh Ali Jaber akhirnya berpulang.
Innalillahi wa innailaihi rojiun. Allahummagh firlahu warhamhu wa`afihi wa`fu`anhu
Syeikh Ali Jaber hanyalah satu di antara sederet ulama yang rela meninggalkan tanah kelahirannya demi berdakwah di negeri ini. Bagi Syeikh Jaber, pastilah bukan keputusan yang mudah, mengingat yang ditinggalkan adalah tanah Madinah yang penuh berkah.
Sejak berabad lalu, silih berganti para alim datang ke Nusantara untuk menyebarkan hangatnya cahaya hidayah. Hingga ajal menjemput, mereka tak pernah berpikir untuk kembali ke negerinya.
Beberapa di antaranya meninggalkan jejak yang mendalam. Seperti Maulana Malik Ibrahim yang berlayar jauh dari tepi Laut Kaspia, tepatnya dari Azerbaijan, menuju jazirah Sumantrah (Sumatra) yang dibacanya dari kitab Ar-Rihlah karya Ibnu Bathutah.
Tak berhenti di situ, ia melanjutkan langkah ke tanah Jawa yang pada waktu itu digambarkan masih banyak penyembah berhala sehingga perlu didakwahi.
Keberhasilannya mensejahterakan penduduk Majapahit yang tengah dikoyak perang Paregreg antara Kertawardana melawan Bre Kertabumi membuatnya digelari “Wong Agung” oleh Maharani Suhita.
Hingga ajal menjemput, ia memilih berada di negeri ini dan dimakamkan di Gresik, Jawa Timur. Kita kemudian mengenalnya sebagai Sunan Gresik. Bukti sejarah tentang perjuangannya tercatat dalam “Serat Walisana” yang ditulis pada masa Sultan Agung.
Berikutnya ada nama Maulana Ibrahim as Samarqandy dari Samarkand, Uzbekistan. Bersama putranya yang bernama Maulana Ishaq, mereka meninggalkan indahnya kota Samarkand menuju satu titik di tanah Jawa.
Tepatnya di wilayah Blambangan yang waktu itu tengah terkurung pandemi. Berkat kepiawaiannya di bidang pengobatan, ia berhasil menyembuhkan Dewi Sekardadu yang tak lain putri Sang Prabu Menak Sembuyu.
Kedunya lalu dinikahkan. Namun karena tersulut konflik internal, Sang Alim akhirnya meninggalkan Blambangan menuju Samudra Pasai, hingga wafat di sana.