Kamis 14 Jan 2021 20:06 WIB

Pahami Mengapa Vaksinasi Hanya Diberi ke Orang Sehat

Epidemiolog terangkan, vaksin berbeda dengan obat.

Vaksinator menyuntikkan vaksin Covid-19 Sinovac ke tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Hasan Sadikin, Jalan Pasteur, Kota Bandung, Kamis (14/1). Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menargetkan 1,48 juta tenaga kesehatan mengikuti program vaksinasi Covid-19 perdana tahap awal yang berlagsung dari Januari hingga Februari 2021. Foto: Abdan Syakura/Republika
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Vaksinator menyuntikkan vaksin Covid-19 Sinovac ke tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Hasan Sadikin, Jalan Pasteur, Kota Bandung, Kamis (14/1). Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menargetkan 1,48 juta tenaga kesehatan mengikuti program vaksinasi Covid-19 perdana tahap awal yang berlagsung dari Januari hingga Februari 2021. Foto: Abdan Syakura/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Rr Laeny Sulistyawati, Antara

Program vaksinasi Covid-19 mulai bergulir. Meski masuk dalam kelompok penerima vaksinasi, namun tidak semua masyarakat bisa mendapatkan vaksin Covid-19. Di antara mereka yang belum bisa mendapatkan vaksinasi adalah para penyintas, juga masyarakat yang kondisinya sedang tidak sehat.

Baca Juga

Ahli Epidemiologi dari Universitas Airlangga Surabaya, Dr dr M Atoillah Isfandiari MKes, menegaskan vaksin hanya bisa diberikan kepada orang yang sehat. Karena vaksin berbeda dengan obat.

"Obat itu untuk mengobati orang sakit, sementara vaksin untuk mencegah yang sehat agar tidak sakit," kata Wakil Dekan II Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair itu, di Surabaya, Kamis (14/1).

Oleh karena itu, vaksin seperti Sinovac harus diberikan kepada orang yang masih sehat. Sehingga jika sudah pernah menderita Covid-19 bukan menjadi target dari vaksin karena ia sudah mempunyai antibodi alami yang mungkin memang akan terdegradasi seiring waktu.

Perihal penggunaan Vaksin Sinovac, pria yang akrab dipanggil Atoini mengatakan, saat ini perlu diprioritaskan untuk mereka yang belum punya kekebalan sama sekali. Seperti tenaga kesehatan atau tim medis.

"Yang harus diberikan dulu ya tentunya yang bisa menolong dulu orang sakit, dalam hal ini adalah tenaga medis. Karena analoginya tenaga medis aman dari infeksi, maka selanjutnya bisa lebih optimal dalam menolong orang lain, termasuk juga menolong untuk mendapatkan kekebalan," katanya.

Ia menyebut vaksin Sinovac mempunyai beberapa keunggulan. Seperti menggunakan platform lama yang sudah sangat dikenal produsen vaksin, yaitu inactivated virus atau virus yang dimatikan.

"Efek samping dari vaksin itu tercatat kurang dari 1 persen. Artinya, memiliki keamanan yang sangat tinggi, meskipun memiliki efikasi vaksin sebesar 65,3 persen. Efikasi vaksin sebesar itu bisa dibilang jauh lebih rendah dibanding vaksin lainnya," kata Dr Atoillah.

Ato mengatakan, Sinovac juga relatif mudah disimpan dan tidak membutuhkan cold chain atau rantai dingin yang canggih. Seperti vaksin Pfizer yang membutuhkan penyimpanan minus 70 derajat.

"Vaksin dari perusahaan China tersebut masih memungkinkan jika disimpan di dalam lemari pendingin biasa," ujarnya.

Ia menjelaskan, dikeluarkannya izin pakai darurat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sangat tepat, karena melihat semakin banyak korban Covid-19 berjatuhan. Terkait efek samping pascauji klinis dilakukan, Ato mengatakan, waktu ideal yang dibutuhkan adalah enam bulan untuk pemantauan agar mengetahui efek sampingnya.

"Jadi, uji klinis fase 3-nya sudah selesai, sehingga data-data yang dicatat selama pelaksanaan uji klinis hasilnya bisa diperoleh dan dianalisis. Uji klinis sudah selesai hanya versi pemantauan pascauji itu yang kemudian kita tunggu dengan pertimbangan bahwa selama uji mulai ke-1 sampai ke-3 laporan terkait dengan keamanan dan efikasi sudah didapatkan," tuturnya.

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin juga menjelaskan alasan penyintas Covid-19 tak masuk dalam target prioritas vaksinasi. Alasannya, penyintas dianggap sudah memiliki imunitas.

"Memang penyintas Covid-19 sampai sekarang tidak kami masukkan sebagai target vaksinasi karena mereka masih memiliki imunitas sehingga nanti tidak dimasukkan ke prioritas vaksinasi saat ini," kata Budi dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, di Kompleks, Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/1).

Selain itu dia menjelaskan terkait vaksinasi saat ini yang hanya untuk kelompok usia 18-59 tahun. Sebab dari uji klinis tahap III yang dilakukan di Bandung baru dilakukan terhadap usia 18-59.

"Sinovac sendiri di negara lain seperti Brasil melakukan uji klinis di atas 60 tahun. demikian juga vaksin-vaksin lainnya seperti Pfizer dan Astrazaneca juga bisa diberikan untuk usia di atas 60 tahun," ujarnya.

Terkait untuk kelompok usia di bawah 18 tahun Budi mengatakan sampai saat ini belum ada uji klinis yang dilakukan untuk usia di bawah 18 tahun. Namun ia mengatakan Astrazaneca dan Sinovac telah melakukan uji klinis terhadap usia di atas 16 tahun. "Tapi tahapnya masih tahap sangat dini," tuturnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement