REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Masalah efikasi menjadi hal yang banyak diperbincangkan di media massa maupun media sosial. Sebenarnya apa sih maksud efikasi vaksin?
Secara singkat ekonom Indef Dradjad Wibowo, yang konsen terhadap masalah pandemi Covid-19 dari aspek ekonomi menjelaskan.
Dari satu populasi yg sama, diambil kelompok A dan B.
Kelompok A diberi treatment. Setelah beberapa waktu, dicek berapa yang tertular. Kelompok B tidak diberi treatment. Isitilahnya placebo. Dihitung juga berapa yang tertular.
Semua individu di kelompok A dan B tidak tahu apakah mereka mendapat treatment atau placebo. Itu sebabnya uji cobanya disebut “blind”.
Katakanlah di kelompok A ada 1% yang tertular (terinfeksi), di kelompok B yang tertular 20%. Artinya treatment membuat penularan turun 95%. Hitungannya = (20-1)/20 = 95%. Jadi efikasinya 95%.
Jadi yang dipakai sebagai dasar perhitungan adalah penularan di setiap kelompok. Dalam contoh di atas, orang yang diberi treatment (misalkan divaksin) mempunyai risiko tertular 1%. Istilahnya adalah attack rate di kelompok treatment.
Attack rate di kelompok placebo adalah 20%.
Untuk CoronaVac, ada yang membaca bahwa dengan efikasi 65.3% maka ada risiko penularan 34.7%. Itu bacaan yang salah. Masalahnya, kita tidak tahu berapa attack rate karena data lengkapnya tidak diumumkan BPOM.
Sewaktu wawancara dengan Republika.co.id, Dradjad meminta datanya diumumkan. Karena dengan transparansi, lebih mudah untuk membangun kepercayaan publik. Dengan tahu attack rate, maka masyarakat bisa diedukasi.
Edukasinya adalah “Meskipun sudah divaksin, tetap ada risiko sangat kecil untuk tertular. Jadi prokes harus dijalankan dengan disiplin. Dan kalau ada yang positif meski sudah divaksin, bukan berarti vaksinasi gagal total.”