REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Hal yang cukup krusial dari elemen ilmu hadits adalah menelusuri periwayat-periwayat hadits. Bagaimana rekam jejak, perilaku, hingga ibadahnya, menentukan kualitas hadits yang diriwayatkan.
Lantas bisakah dipercaya hadits yang periwayatannya diriwayatkan orang yang bertaubat atau pernah melakukan keburukan?
Imam An-Nawawi dalam kitab Tadrib ar- Rawi menjelaskan, seseorang yang telah bertaubat dari perilaku kefasikan maka periwayatannya dapat saja diterima. Namun orang yang pernah berdusta ketika meriwayatkan suatu hadits, maka periwayatannya selamanya tidak dapat diterima.
Meskipun jika ditelisik, metodologi dan jalur periwayatannya telah memenuhi kualifikasi hadits. Pendapat ini antara lain dikemukakan Ahmad bin Hanbal, guru dari Imam Syafii yakni Al-Humaidi, hingga Al-Shairafi As-Syafii. Bahkan tokoh yang terakhir disebut mengatakan perawi digugurkan haditsnya karena dia berdusta, maka selamanya hadits yang dia riwayatkan tidak dapat diterima kembali.
Al-Sama’ani juga berpendapat bahwa seorang yang pernah berdusta pada satu hadits saja, maka wajib hukumnya menggugurkan semua periwayatan orang itu sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar unsur kehati-hatian dalam menerima hadits menjadi lebih otentik dan benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
Memahami hadits yang jumlahnya begitu banyak dalam khazanah Islam, memang harus dibekali dengan ilmu. Tidak elok rasanya apabila seseorang yang hanya bermodalkan mengaji melalui internet tanpa guru, tanpa menempuh pendidikan dalam jangka waktu lama dalam kajian keislaman, tanpa ketawadhuan, lantas mengutip hadits-hadits yang keabsahan dari konteks ilmu haditsnya dipertanyakan.