REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebutkan, surplus neraca perdagangan tahun lalu yang mencapai 21,74 miliar dolar AS bukanlah sebuah prestasi. Justru, surplus yang disebut Yusuf sebagai surplus jumbo itu menggambarkan kerapuhan ekonomi Indonesia.
Salah satu indikatornya, Yusuf menyebutkan, penurunan impor bahan baku/ penolong sebesar 18,32 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. "Ini indikator yang kurang baik bagi perkembangan industri manufaktur dalam negeri yang tergantung pada impor bahan baku," tuturnya saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (15/1).
Tidak hanya bahan baku, barang-barang modal juga mengalami penurunan nilai impor. Kontraksinya mencapai 16,73 persen menjadi 23,70 miliar dolar AS. Sementara, penyusutan impor barang konsumsi lebih landai, yakni 10,93 persen, menjadi 14,66 miliar dolar AS.
Secara keseluruhan, kinerja impor sepanjang 2020 sebesar 141,57 miliar dolar AS, turun 17,34 persen. Penurunan inilah yang menyebabkan surplus perdagangan tahun lalu terbilang besar, bahkan nilainya tertinggi sejak sembilan tahun terakhir.
"Surplus jumbo di tahun 2020 ini akibat ‘dibantu’ penurunan impor yang jauh lebih dalam dibandingkan penurunan pertumbuhan ekspor," ucap Yusuf.
Sementara itu kinerja ekspor mencatatkan kontraksi, meski tipis. Penurunannya hanya 2,61 persen menjadi 163,31 miliar dolar AS. Penyusutan terdalam terjadi pada sektor pertambangan dan lainnya yang turun 20,70 persen akibat penurunan jumlah permintaan dari negara lain sekaligus harga komoditas.