REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Ahli imunologi UGM, dr Deshinta Putri Mulya mengatakan, orang yang pernah terpapar Covid-19 dan sembuh tidak perlu divaksin. Sebab, mereka telah mendapat antibodi, sehingga tidak masuk kelompok prioritas diberikan vaksin.
"Yang sudah pernah terkonfirmasi positif Covid-19 dan sembuh tidak usah divaksin," kata Deshinta dalam bincang-bincang yang digelar RSA UGM.
Deshinta menuturkan, tubuh manusia yang telah terpapar Covid-19 sudah membuat sistem kekebalan tubuh atau antibodi. Jadi, ia menekankan, secara logika yang pernah terkonfirmasi Covid-19 dan sembuh sudah memiliki antibodi.
Kepala Divisi Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKKMK UGM ini menuturkan, orang yang sehat justru jadi kelompok prioritas sebagai penerima vaksin. Sebelum divaksin penerima diskrining suhu tubuh, tekanan darah, dan riwayat penyakitnya.
Penerima harus benar-benar dalam kondisi sehat dan tidak demam. Bila demam suhu lebih dari atau setinggi 37,5 derajat celcius, vaksinasi ditunda sampai sembuh dan tidak terbukti terinfeksi, skrining ulang pada kunjungan vaksin berikutnya.
Sedangkan, orang penyakit tertentu seperti TBC, hipertensi, HIV, diabetes dan lain-lain dapat diberi vaksin dalam kondisi terkontrol. Misal, pasien TBC dalam pengobatan bisa diberi vaksin dua pekan setelah mendapat obat antituberkulosis.
Lalu, pasien DM tipe II terkontrol dan HbA1C dibawah 58 mmol/mol atau 7,5 persen dapat diberikan vaksin. Berikutnya, untuk pasien dengan HIV jika angka CD4 lebih dari 200 atau tidak diketahui, maka vaksinasi tidak diberikan.
"Vaksin Covid-19 tidak bisa diberikan untuk pasien autoimun, gagal ginjal, serta wanita hamil," ujar Deshinta.
Deshinta menerangkan, pemberian vaksin akan menimbulkan efek samping, tapi tidak berat. Reaksi muncul biasanya bersifat lokal atau sistemik. Reaksi lokal umumnya muncul seperti kemerahan, bengkak, nyeri di area suntikan dan selulitis.
"Sedangkan, teaksi sistemik antara lain demam, nyeri otot seluruh tubuh, nyeri sendi, badan lemah, serta sakit kepala," kata Deshinta.