REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Pemerintah Malaysia baru-baru ini mengambil tindakan hukum pada pengawas perdagangan global terhadap Uni Eropa dan negara-negara anggota Perancis serta Lithuania. Langkah tersebut diambil, karena Uni Eropa diklaim membatasi biofuel berbasis minyak sawit.
Produsen minyak sawit terbesar setelah Indonesia itu menyebut, arahan energi terbarukan Uni Eropa adalah tindakan diskriminatif. Hal itu juga ditegaskan oleh Kementerian Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia dalam sebuah pernyataan pada Jumat kemarin, sebagai solusi di bawah Mekanisme Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia.
Menurut Menteri Mohd Khairuddin Aman Razali, Uni Eropa saat ini masih melanjutkan pelaksanaan arahan tanpa mempertimbangkan komitmen dan pandangan Malaysia. Khususnya, setelah Malaysia memberikan umpan balik dan mengirimkan misi ekonomi dan teknis ke Eropa.
"Arahan UE akan berarti penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati di UE tidak dapat diperhitungkan dalam penghitungan target energi terbarukan, dan pada gilirannya menciptakan pembatasan perdagangan yang tidak semestinya untuk industri minyak sawit negara," katanya dalam pernyataan itu dikutip Reuters, Sabtu (16/1).
Karenanya, kementerian mengklaim saat ini sedang mengajukan permintaan pada WTO dengan kerja sama dari Jaksa Agung dan Kementerian Perdagangan dan Industri Internasional. Kerja sama tersebut, dijelaskan untuk mengambil tindakan yang telah diperingatkan pada Juli lalu terhadap EU Renewable Energy Directive II.
Malaysia akan bertindak sebagai pihak ketiga dalam kasus WTO, terpisah seperti yang diajukan juga oleh Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Menurut pernyataan, langkah itu juga sebagai tanda solidaritas dan dukungan satu sama lain.