Ahad 17 Jan 2021 04:10 WIB

BMKG Waspadai Aktivitas Gempa Majene

Minimnya gempa susulan menandakan masih tersimpannya medan tegangan yang belum rilis.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus Yulianto
Foto aerial Rumah Sakit Mitra Manakarra yang rusak akibat gempa bumi magnitudo 6,2 di Mamuju, Sulawesi Barat, Sabtu (16/1/2021).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Foto aerial Rumah Sakit Mitra Manakarra yang rusak akibat gempa bumi magnitudo 6,2 di Mamuju, Sulawesi Barat, Sabtu (16/1/2021).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat, telah terjadi 32 gempa di wilayah Majene dan Mamuju per Sabtu (16/1) pukul 06.32 WIB. BMKG menyebutkan, produktivitas gempa susulannya sangat rendah jika mencermati aktivitas gempa Majene saat ini.

"Hasil monitoring BMKG menunjukkan bahwa gempa Majene ini memang miskin gempa susulan (lack of aftershocks)," ujar Koordinator Bidang Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono dalam keterangan tertulisnya yang diterima Republika, Sabtu (16/1).

Dia menjelaskan, gempa pada Sabtu pagi merupakan gempa ke-32 sejak terjadinya Gempa Pembuka dengan magnitudo 5,9 pada Kamis (14/1) pukul 13.35 WIB. Akan tetapi, gempa ini menjadi gempa ke-23 setelah Gempa Utama dengan magnitudo 6,2 pada Jumat (15/1) pukul 01.28 WIB.

Daryono mengatakan, stasiun seismik BMKG sudah cukup baik sebarannya di daerah tersebut. Sehingga, ia meyakini, gempa-gempa kecil pun akan dapat terekam dengan baik.

Namun, hasil monitoring BMKG menunjukkan, gempa Majene ini memang miskin gempa susulan. Menurut Daryono, fenomena ini agak aneh dan kurang lazim.

Dia menerangkan, gempa kuat di kerak dangkal (shallow crustal earthquake) dengan magnitudo 6,2 mestinya diikuti banyak aktivitas gempa susulan. Akan tetapi, hasil monitoring BMKG menunjukkan, baru terjadi 23 kali gempa susulan hingga hari kedua setelah Gempa Utama magnitudo 6,2.

Daryono menuturkan, jika membandingkan kejadian gempa lain dengan kekuatan yang hampir sama, biasanya terjadi gempa susulan sangat banyak pada hari kedua. Bahkan, ada juga yang mencapai sekitar 100 gempa susulan.

Dia pun belum mengetahui dengan pasti, apakah fenomena rendahnya produksi aftershocks di Majene ini karena terjadi proses disipasi atau akumulasi. Terjadi disipasi ketika medan tegangan di zona gempa sudah habis sehingga kondisi tektonik menjadi stabil dan kembali normal.

Sedangkan, terjadi akumulasi ketika minimnya aktivitas gempa susulan ini menandakan masih tersimpannya medan tegangan yang belum rilis. Hal demikian masih memungkinkan terjadinya gempa signifikan nanti. 

"Fenomena ini membuat kita menaruh curiga, sehingga lebih baik kita patut waspada," kata Daryono

Menurutnya, inilah perilaku gempa yang memang sulit diprediksi dan menyimpan banyak ketidakpastian. Gempa dapat dikaji secara spasial dan temporal, akan tetapi untuk mengetahui besarnya medan tegangan riil dan perubahannya pada kulit bumi masih sulit dilakukan.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement