REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Udara Universitas Tarumanagara Prof Dr Martono mengatakan santunan bagi korban kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ-182 yang jatuh di sekitar Pulau Laki dan Pulau Luncang, Kepulauan Seribu, bukan ganti rugi. Santunan tersebut bukan pengganti nyawa yang hilang.
“Santunan merupakan kompensasi dan bukan ganti rugi. Santunan diberikan bukan sebagai ganti nyawa yang hilang, tetapi agar keluarga yang ditinggalkan dapat tetap memenuhi kebutuhan hidup, terutama apabila korban merupakan tulang punggung keluarga,” ujar Martono dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (18/1).
Dia menambahkan dasar hukum untuk santunan kompensasi penumpang meninggal dunia diberikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, dengan jumlah kompensasi ditentukan (dibatasi) oleh peraturan Menteri Perhubungan No PM 77 Tahun 2011. Menurut keputusan tersebut penumpang yang meninggal dunia memperoleh kompensasi sebesar Rp 1,25 miliar.
Di samping kompensasi berdasarkan Undang-Undang No 1 tahun 2009 tersebut, penumpang yang meninggal dunia juga dapat memperoleh santunan Asuransi Wajib Dana Kecelakaan Pesawat Udara berdasarkan UU No 33 Tahun 1964 yang besarnya ditentukan oleh surat keputusan Menteri Keuangan terakhir sebesar lima puluh juta rupiah bagi penumpang yang mempunyai tiket, dan santunan dari UU No 2 Tahun 1992 bila mana penumpang membeli asuransi sukarela.
Selanjutnya, berdasarkan 151 ayat empat UU No 1 Tahun 2009, pengangkut yang mengangkut penumpang tanpa tiket, pengangkut atau dalam hal ini maskapai penerbangan, tidak berhak menggunakan batas tanggung jawab yang diatur dalam Peraturan Menteri 77 Tahun 2011.
“Artinya pengangkut dapat digugat jumlah santunan tidak terbatas,” terang dia lagi.
Berdasarkan data manifest, pesawat yang diproduksi tahun 1994 itu membawa 62 orang terdiri atas 50 penumpang dan 12 orang kru. Dari jumlah tersebut, 40 orang dewasa, tujuh anak-anak, tiga bayi. Sedangkan 12 kru terdiri atas, enam kru aktif dan enam kru ekstra.