REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Penangkapan pemimpin oposisi Rusia, Alexei Navalny, menuai kritik dari negara-negara Barat. Rusia menahan Navalny ketika tiba di Moskow setelah pulih dari keracunan zat agen saraf.
Navalny ditahan di pemeriksaan paspor di bandara Sheremetyevo Moskow setelah terbang pada Ahad (18/1) malam dari Berlin. Peristiwa itu menambah lapisan ketegangan lain pada hubungan antara Moskow dan Barat yang telah lama tegang dan diperburuk oleh peracunan Navalny pada Agustus tahun lalu.
Menteri Luar Negeri Jerman, Heiko Maas, mencatat Navalny telah kembali atas kemauannya sendiri. "Sama sekali tidak dapat dimengerti bahwa dia ditahan oleh otoritas Rusia segera setelah kedatangannya," katanya.
"Rusia terikat oleh konstitusinya sendiri dan oleh komitmen internasional pada prinsip supremasi hukum dan perlindungan hak-hak sipil. Prinsip-prinsip ini tentunya juga harus diterapkan pada Alexei Navalny. Dia harus segera dibebaskan," ujar Mass.
Presiden Dewan Eropa, Charles Michel, berkicau di Twitter bahwa penahanan Navalny tidak dapat diterima. Dia menyerukan pembebasannya segera dan seruan itu digemakan oleh Kementerian Luar negeri Prancis dan oleh Menteri Luar Negeri Polandia, Zbigniew Rau.
"Saya mengungkapkan solidaritas saya dengan semua orang Rusia yang memiliki cita-cita yang sama dengan pemimpin oposisi Rusia yang ditahan," kata Rau.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Mike Pompeo, mengatakan Washington sangat mengutuk keputusan untuk menangkap Navalny. Dia menyatakan, langkah itu upaya terbaru untuk membungkam tokoh oposisi dan suara independen yang kritis terhadap otoritas Rusia.