Selasa 19 Jan 2021 09:26 WIB

Emil Instruksikan Pejabat Penyintas Covid-19 Donor Plasma

PMI mencatat jumlah calon pendonor plasma hanya 5-10 persen dari total pasien sembuh

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Gita Amanda
Petugas Palang Merah Indonesia (PMI) memperlihatkan sampling darah penyintas COVID-19 saat screening donor plasma konvalesen, (ilustrasi).
Foto: Rony Muharrman/ANTARA
Petugas Palang Merah Indonesia (PMI) memperlihatkan sampling darah penyintas COVID-19 saat screening donor plasma konvalesen, (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil mendorong para kepala daerah dan pejabat publik penyintas Covid-19 mendonorkan plasma darahnya untuk pasien positif yang masih dirawat di rumah sakit. Karena, saat ini minat penyintas Covid-19 menyumbangkan plasma darahnya tergolong rendah.

PMI mencatat jumlah calon pendonor plasma darah hanya 5-10 persen dari total jumlah pasien yang sembuh secara nasional.

Baca Juga

Hal ini yang kemudian membuat Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin mencanangkan Gerakan Nasional Pendonor Plasma Kovalesen secara daring bersama Palang Merah Indonesia dan rumah sakit seluruh Indonesia.

“Ada gerakan donor plasma konvalesen. Saya imbau kepada ribuan orang yang sembuh di Jabar, kami dengan sangat memohon menyumbangkan plasma darahnya untuk digunakan bagi penyembuhan pasien yang masih berjuang karena Covid-19," ujar Ridwan Kamil yang akrab disapa Emil, Senin petang (18/1) lalu.

Emil berharap, kampanye donor plasma konvalesen ini bisa berhasil di Jabar. Karena, beberapa kepala daerah di Jabar ada yang penyintas Covid 19.

Perlu diketahui beberapa kepala daerah yang terkonfirmasi positif Covid-19 seperti Wali Kota Bogor, Wakil Wali Kota Bandung, Bupati Karawang, Bupati Bogor, Wali Kota Bandung, dan terbaru Bupati Bandung Barat. Sekda Kota Bogor pun diketahui terkonfirmasi, dan masih banyak pejabat publik lainnya setingkat eselon II.

“Bagi kepala daerah atau pejabat publik yang memenuhi syarat, seperti tidak ada komorbid, belum pernah hamil, dan positifnya bergejala, saya dorong untuk mendonorkan plasma darahnya,” katanya.

Menurut Emil, rakyat itu bagaimana pemimpin. Kalau pemimpinnya kasih contoh baik, maka masyarakat pun akan ikut. "Dulu pas uji klinis peminatnya sedikit, tapi setelah saya dan forkopimda daftar, relawan malah membeludak. Kemarin vaksin, pejabat publik pun memulainya agar masyarakat juga ikut,” katanya.  

Di saat pandemi, menurut Emil, pemimpin harus menanamkan empati dan solidaritas di masyarakat. “Gimana caranya? Jadilah contoh, jadilah panutan. Jangan justru memunculkan preseden buruk,” katanya.  

Setelah kepala daerah menjadi pendonor plasma, kata dia, paling tidak langkah ini akan diikuti pejabat publik di bawahnya seperti sekda, kepala dinas serta pejabat eselon lainnya. “Harapannya seluruh ASN penyintas Covid-19 akan mengikuti,” katanya.

Ketua Komunitas Pendonor Plasma Darah dr Ariani menjelaskan, terapi plasma darah dapat menjadi alternatif penyembuhan terbaik bagi pasien positif, di tengah belum ditemukannya obat Covid-19 dan vaksinasi yang saat ini baru saja mulai.

Terapi plasma darah dipakai dokter di Rumah Sakit Syaiful Anwar Malang. Berdasarkan penelitian, plasma darah dapat meningkatkan angka kesembuhan pasien positif dengan derajat berat 95 persen sembuh, derajat kritis 59 persen sembuh.

“Intinya semuanya masih dalam taraf penelitian, tapi menjanjikan di saat belum ada obat pasti,” kata Ariani.

Penjelasan Ariani sekaligus membantah keraguan dari sebagian kalangan dokter yang mengatakan terapi plasma darah tidak efektif menolong pasien positif, bahkan sudah ditinggalkan negara maju seperti Inggris.

Pencanangan Gerakan Nasional Pendonor Plasma Kovalesen oleh Wapres menunjukkan terapi ini efektif dan menjadi pilihan saat ini. “Jika memang tidak efektif sepertinya mustahil pemerintah lakukan ini. Terapi plasma kovalesen memang dalam taraf uji klinis di seluruh negara di dunia,” kata Ariani.  

 

Menurut Ariani, saat ini minat penyintas Covid-19 untuk mendonorkan plasma darahnya masih rendah, sementara permintaan sangat tinggi. Sejak berdiri 25 Desember 2020, Komunitas Pendonor Plasma sudah memfasilitasi 241 penyintas.

Namun saat ini permintaan plasma darah terus meningkat, sementara tidak semua PMI melayani donor plasma darah. Jika ada, tidak membuka pendaftaran secara sukarela tapi berdasarkan permintaan dari rumah sakit. Jika tidak ada permintaan, maka PMI tidak akan mencari pendonor. Di satu sisi, stok plasma darah antardaerah tidak merata.  

“Padahal sebetulnya antar-PMI dapat saling mengirim plasma darah jika ada kebutuhan,” katanya.   

Menurut Ariani, minat penyintas Covid-19 mendonorkan plasma darahnya rendah disebabkan beberapa hal. “Pertama karena mereka tidak tahu. Kedua, ada yang masih ogah untuk ke PMI. Kita tidak bisa memaksa, donor sifatnya hanya sukarela, apalagi kita kasih nomor hape penyintas tanpa izin,” katanya.  

Ketiga, kata dia, stigma pun menjadi salah satu pertimbangan. “Karena ada stigma ini penyintas banyak yang merasa malu atau tidak mau ditampilkan jika mendaftar (jadi pendonor plasma), nanti takut dikucilkan,” katanya.

Rendahnya donor plasma pun, kata dia, dapat disebabkan banyak penyintas yang sebetulnya sudah bersedia jadi pendonor, tapi setelah dites kesehatan ternyata tidak memenuhi syarat. Contohnya, saat positif yang bersangkutan terkategori orang tanpa gejala, atau perempuan yang pernah hamil.

“Perempuan yang pernah hamil itu punya antigen HLA dan HNA, kalau plasma darahnya didonorkan akan terjadi penolakan dari penerima,” kata Ariani.

Ariani menyambut baik ide bahwa kepala daerah dan pejabat publik penyintas Covid-19, mau mendonorkan plasma darahnya. “Baik banget itu. Pejabat publik bisa jadi influencer,” katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement