REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyarankan kewajiban spin off bagi Unit Usaha Syariah Perbankan untuk diganti menjadi tidak wajib. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana mengatakan, kewajiban spin off ini masih bisa dibahas hingga 2023 sesuai ketentuan dalam undang-undang.
"Pemerintah sedang berencana meluncurkan Undang-undang Sektor Keuangan, kita masukan aspirasi itu supaya nanti spin off bukan mandatory, tapi voluntary. Jadi mau spin off silakan, mau tetap gabung dengan induk tidak apa," kata Heru dalam sebuah webinar ekonomi syariah, Selasa (19/1).
Saat ini, semua UUS diwajibkan spin off terhitung 15 tahun setelah Undang-Undang (UU) Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terbit atau pada tahun 2023. Heru mengatakan spin off membawa komitmen dari induk usaha untuk menyediakan permodalan bagi anak usahanya.
Permodalan menjadi salah satu tantangan pengembangan bank syariah. Kapasitasnya masih sangat terbatas dengan rata-rata bank kategori BUKU II dan BUKU I. Inklusi dan literasi yang masih minim masing-masing 9,10 persen dan 8,93 persen juga menjadi tantangan ekspansi.
Berdasarkan data terbaru, pangsa pasar aset perbankan syariah per Desember 2020 telah mencapai 6,51 persen. Mayoritas disumbang oleh 14 Bank Umum Syariah sebesar 65,25 persen, 20 Unit Usaha Syariah sebesar 32,35 persen, dan 2,39 persen dari 162 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Per Desember 2020, pembiayaan bank syariah tumbuh 8,08 persen. Aset mencatat pertumbuhan 13,04 persen, dan Dana Pihak Ketiga sebesar 11,8 persen. Rasio risiko pembiayaan menurun dengan NPF 3,08 persen dan rasio permodalan naik menjadi 21,59 persen.