REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Hasil investigasi dan rekomendasi Komnas HAM terkait kematian enam Laskar FPI ternyata belum menjawab banyak pertanyaan publik. Mulai dari pembuntutan sampai penembakan yang dirasa belum diselidiki secara mendalam.
Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Dr Trisno Raharjo, menilai peristiwa kematian enam Laskar FPI oleh polisi seperti mengulang kematian Siyono oleh Densus 88. Hali ini menunjukkan, mereka tidak belajar dari kejadian itu.
"Polisi telah mengabaikan SOP yang ada, melupakan peristiwa Densus melakukan penangkapan ke Siyono, tidak diborgol, dianggap melakukan perlawanan seperti copy paste, dan menunjukkan polisi tidak cukup belajar," kata Trisno dalam jumpa pers yang digelar Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Senin (18/1).
Dia mempertanyakan, penyelidik Polri yang tidak mengamankan TKP ketika sudah ada dua orang meninggal di KM 50. Karenanya, Trisno menilai, melakukan penyidikan terbuka, lalu membawa kasus ini ke persidangan tepat dan penting.
Trisno mengingatkan, dalam kasus penembakan mahasiswa Universitas Halu Oleo Imawan Randi Polisi semula kurang merespons penegakan hukum. Tapi, akhirnya dilakukan dan ini jadi contoh prosedur yang baik dan harus dilakukan Polisi. "Kami menganggap Komnas HAM belum selesai dengan hanya rekomendasi ini, harus melakukan pemantauan dan berkewajiban memastikan penyelesaian persoalan ini sampai kepada pengadilan di sistem peradilan pidana kita," ujar Trisno.
Terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, melihat peristiwa itu merupakan penggunaan kekuatan dan senjata berlebih. Itu melanggar pedoman dasar PBB yang disusun khusus untuk penegak hukum.
Dia meyakini, bukti-bukti cukup mengatakan ada hak hidup terlanggar akibat extrajudicial killing. Luka yang diidentifikasi forensik, bekas penyiksaan, tembakan mematikan, sulit dimungkiri peristiwa itu pelanggaran HAM biasa.