REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat nilai restrukturisasi kredit perbankan hingga 4 Januari 2021 sudah mencapai Rp 971,1 triliun di 101 bank yang diajukan debitur terdampak pandemi Covid-19. Restrukturisasi itu diajukan oleh 7,57 juta debitur.
“Ini perlu menjadi perhatian karena memang sudah cukup besar, ini restrukturisasi paling besar sepanjang sejarah saya menjadi pengawas,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana dalam webinar Sharia Economic Outlook di Jakarta, Selasa (19/1).
Dia menjelaskan total nilai restrukturisasi itu diajukan oleh 7,57 juta debitur. Mayoritas debitur yang mengajukan keringanan kredit itu adalah debitur UMKM sebanyak 5,81 juta senilai Rp 387 triliun.
Meski jumlah debitur UMKM terbilang mendominasi mengajukan restrukturisasi kredit, secara nominal baki debet terbesar yakni Rp 584 triliun diajukan oleh 1,76 juta debitur non-UMKM.
OJK sudah memperpanjang aturan restrukturisasi kredit dari Maret 2021 menjadi Maret 2022 sesuaiPeraturan OJK Nomor 48 tahun 2020. Dalam POJK 48, OJK meminta perbankan untuk berjaga-jaga jika restrukturisasi tidak berhasil seluruhnya.
Caranya, lanjut dia, dengan membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) termasuk meminta bankir untuk mempertimbangkan kembali bagi-bagi dividen atau aksi-aksi korporasi. “Jadi sebelum melakukan tindakan, aksi korporasi, tolong lakukan stress testing untuk melihat kecukupan CKPN untuk mengantisipasi dampak restrukturisasi itu,” katanya.
Ia mengakui kondisi saat ini menimbulkan dilema bagi perbankan karena di satu sisi harus mengantisipasi kemampuan bank dalam menyerap risiko CKPN, kekuatan likuiditas dan modal bank dalam menyangga penurunan kinerja debitur. Di sisi lainnya, lanjut dia, restrukturisasi harus dilakukan dengan baik sehingga risiko bisa diatasi dengan kehati-hatian oleh perbankan.
“Tapi saya ingatkan bagaimanapun restrukturisasi harus diantisipasi dengan prudent sehingga POJK 48 yang kita buat supaya bankir bisa mengantisipasi dampak restrukturisasi,” katanya.