REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Mimi Kartika, Rizky Suryarandika
"Ini adalah sebuah banjir besar yang mungkin sudah lebih dari 50 tahun tidak terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Curah hujan yang sangat tinggi hampir 10 hari berturut-turut sehingga daya tampung Sungai Barito yang biasanya menampung 230 juta meter kubik sekarang ini masuk air sebesar 2,1 miliar kubik air," kata Presiden Joko Widodo saat meninjau lokasi terdampak banjir di Kalsel, Senin (18/1).
Senada dengan Jokowi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Selasa (19/1) menjelaskan, penyebab banjir di Kalsel secara umum adalah curah hujan ekstrem yand didukung oleh kondisi infrastruktur ekologis Sungai Barito yang sudah tidak memadai. Sehingga, tidak mampu menampung aliran air yang masuk.
"Dari evaluasi yang ada, kondisi infastruktur ekologisnya yaitu jasa lingkungan pengatur air sudah tidak memadai sehingga tidak mampu lagi menampung aliran air masuk," ujar Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Karliansyah dalam diskusi daring, Selasa (19/1).
Karliansyah mengatakan, banjir dengan ketinggian 0,5-2 meter bahkan 4 meter terjadi sejak 10-17 Januari 2021 di 11 dari 13 kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Tabalong dan Kotabaru. Menurut dia, curah hujan harian pada 9-13 Januari 2021 lebih tinggi delapan sampai sembilan kali lipat dibandingkan curah hujan normal pada Januari 2020. Air yang masuk ke sungai Barito sebanyak 2,08 miliar meter kubik melebihi kapasitas sungai kondisi normal yang hanya dapat menampung air 238 juta meter kubik.
Di sisi lain, kata Karliansyah, sistem drainase pun tidak mampu mengalirkan air dengan volume yang besar. Daerah banjir berada pada titik pertemuan dua anak sungai yang cekung dan morfologinya merupakan meander serta fisiografinya berupa tekuk lereng, sehingga terjadi akumulasi air dengan volume yang besar.
Selain itu, lanjut dia, lokasi banjir umumnya berada di daerah datar dan elevansi rendah dan bermuara di laut sehingga merupakan daerah akumulasi air dengan tingkat drainase rendah. Ditambah lagi beda tinggi hulu-hilir sangat besar, sehingga pasokan air dari hulu dengan energi dan volume yang besar menyebabkan waktu konsentrasi air berlangsung cepat dan menggenangi dataran banjir.
DAS Barito ini merupakan DAS lintas provinsi dengan total 6,2 juta hektare, dan yang melintasi Kalimantan Selatan seluas 1,8 juta hektare. Dari luas itu, proporsi luas areal berhutan DAS Barito di Kalsel hanya 18,2 persen, terdiri dari hutan alam 15 persen dan 3,2 persen hutan tanaman.
Sedangkan, sisanya seluas 81,8 persen merupakan proporsi luas areal tidak berhutan. Areal ini didominasi pertanian lahan kering campur semak 21,4 persen, sawah 17,8 persen, serta perkebunan seperti sawit dan lainnya 13 persen.
"Dari tahun 1990 sampai 2019 maka penurunan luas hutan alam itu sebesar 62,8 persen. Yang paling besar terjadi antara tahun 1990 sampai tahun 2000 sebesar 55,5 persen," kata Karliansyah.