REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah terus berupaya melaksanakan percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah lingkungan guna mengatasi permasalahan produksi sampah yang terus meningkat di beberapa daerah provinsi dan kabupaten/kota tertentu. Tak hanya itu, pemanfaatan sampah secara optimal juga ditujukan untuk menjaga kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan.
Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Andriah Feby Misna mengatakan bahwa dalam perkembangannya, penerbitan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan belum mampu dilaksanakan secara optimal. Pelaksanaan program percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah ini juga membutuhkan komitmen dan upaya dari berbagai pihak, tak terkecuali Pemerintah Kabupaten/Kota karena penyelenggaraan pengelolaan sampah merupakan wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota.
“Ada beberapa tantangan yang dihadapi daerah dalam pelaksanaan program tersebut, di antaranya keterbatasan lahan dan daya tampung TPA, keterbatasan anggaran pengolahan sampah, peningkatan produksi sampah yang belum mampu teratasi, dan pengelolaan sampah belum menjadi prioritas utama Pemerintah Kabupaten/Kota. Oleh karenanya diperlukan intervensi oleh Pemerintah dalam pengelolaan sampah,” tuturnya, Rabu (20/1).
Intervensi oleh pemerintah dalam pengelolaan sampah tersebut ditujukan untuk membantu Pemda dalam mengatasi permasalahan sampah, peningkatan kesehatan masyarakat melalui pengelolaan sampah sesuai target Sustainable Development Goals (SDG), penurunan emisi gas rumah kaca sebagai bagian dari komitmen dalam Nationally Determined Contribution (NDC), dan peningkatan jumlah energi bersih dalam energy mix.
“Diperlukan opsi teknologi lain atau breakthrough sebagai solusi pengolahan sampah yang efektif, efisien dan tidak memberatkan APBN/APBD. Mungkin bisa kita usulkan beberapa perubahan pada Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 dengan melihat evaluasi dari 12 kota yang ada saat ini. Tentunya untuk melakukan revisi Perpres Nomor 35 Tahun 2018 agar melibatkan Litbang dan Deputi Pencegahan KPK,” ungkap Febby.