REPUBLIKA.CO.ID, PENNSYLVANIA--Baterai adalah komponen paling utama dalam sebuah mobil listrik. Tak heran, performa dan harga electric vehicle (EV) pun sangat ditentukan oleh komponen ini.
Kini para insiyur pun terus ditantang untuk meracik baterai yang paling optimal sekaligus paling murah demi dapat menekan harga dan biaya operasional EV. Dilansir dari New Scientist pada Rabu (20/1), kondisi ini pun mendorong Pennsylvania State University untuk melakukan riset soal baterai.
Riset ini terdorong oleh adanya sejumlah tantangan dalam penggunaan baterai yang biasanya mengandalkan bahan baku dari nikel, kobalt dan lithium. Mengingat, seluruh unsur itu memilki keunggulanya masing-masing.
Contohnya, kobalt dinilai cukup murah tapi berpotensi menyebabkan pencemaran lingkungan. Sementara nikel, memiliki densitas yang tinggi tapi mahal dan mudah panas. Sedangkan baterai lithium yang disebut lithium iron phosphate (LFP) dinilai memiliki kinerja yang kurang mumpuni.
Tapi, lewat riset dari Pennsylvania State University, ditemukan bahwa ternyata ada cara untuk meningkatkan performa LFP. Salah satu anggota tim penelitian, Chao-Yang Wang mengatakan, cara untuk meningkatkan performa itu adalah dengan melakukan tahap pemanasan pada suhu tertentu.
"Jika baterai LFP dipanaskan pada suhu 60 derajat celcius, maka performa baterai ini akan menjadi lebih baik ketimbang baterai nikel dan kobalt," kata Chao-Yang Wang.
Meskipun, proses pemanasan baterai LFP tentu membutuhkan biaya tambahan, tapi hal itu dinilai sangat sebanding dengan penigkatan kinerja yang dihasilkan.
Lewat cara ini, ia pun menilai LFP mampu hadir sebagai solusi baterai yang aman dan murah. Tak heran, kini Chao-Yang Wang dan timnya pun telah digandeng oleh sejumlah produsen untuk memproduksi baterai tersebut.