Rabu 20 Jan 2021 15:04 WIB

Pakar Kritik Wacana Sertifikat Vaksin Jadi Syarat Bepergian

Pakar ingatkan mereka yang sudah divaksin masih punya mungkin tertular virus Covid-19

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Petugas memasukan vaksin Covid-19 ke suntikan di Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet, Jakarta, Rabu (20/1). Sebanyak 2.630 tenaga kesehatan di RSD Wisma Atlet Kemayoran menjalani vaksinasi COVID-19 secara bertahap. Vaksinasi terhadap para tenaga kesehatan ini diprioritaskan karena mereka bersinggungan langsung dengan pasien.  Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Petugas memasukan vaksin Covid-19 ke suntikan di Rumah Sakit Darurat (RSD) Wisma Atlet, Jakarta, Rabu (20/1). Sebanyak 2.630 tenaga kesehatan di RSD Wisma Atlet Kemayoran menjalani vaksinasi COVID-19 secara bertahap. Vaksinasi terhadap para tenaga kesehatan ini diprioritaskan karena mereka bersinggungan langsung dengan pasien. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Guru Besar Biokimia dan Biologi Molekuler Universitas Airlangga (Unair) Prof. Chairul Anwar Nidom mengkritik Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang mewacanakan sertifikat vaksinasi dalam bentuk digital bagi mereka yang sudah disuntik vaksin Covid-19. Sertifikat digital tersebut dapat digunakan sebagai syarat bepergian tanpa harus melakukan tes swab atau rapid test antigen.

Nidom menyebut, Menteri Kesehatan salah kaprah jika wacana tersebut benar-benar direalisasikan. Nidom menjelaskan, efikasi uji klinis vaksin Sinovac sekitar 65 persen. Artinya, orang yang telah disuntik vaksin pun masih memiliki peluang tertular virus corona, yang secara otomatis dia juga busa menularkan kepada orang lain.

"Tidak benar juga pernyataan Menkes nanti yang sudah divaksin diberi sertifikat. Orang yg punya sertifikat vaksinasi boleh bepergian ke mana-mana tanpa tes PCR. Jangan menyalahkan masyarakt saja yang salah kaprah menterinya juga," ujar Nidom kepada Republika, Rabu (20/1).

Nidom menjelaskan, efikasi uji klinis vaksin Sinovac sekitar 65 persen artinya cuma menurunkan persentase orang kemungkinan tertular Covid-19. Artinya, persentase kemungkinan orang tertular menurun 65 persen setelah menjalani vaksinasi. Tapi orang tersebut tetap memiliki kemungkinan tertular sekitar 35 persen.

"Jadi bukan berarti menghilangkan. Jadi sifat dari vaksinasi adalah membantu protokol kesehatan," ujar Nidom.

Nidom mengingatkan pemerintah agar tidak membuat kebijakan yang membingungkan. "Kalau semuanya membingungkan virusnya senang. Jadi ada vaksin atau tidak ada vaiksin wajib hukumnya memakai masker. Masker itu wajib ain bukan sunnah muakad," kata Nidom," kata Nidom.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement