REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pada 27 Januari 2017, sepekan setelah menjabat, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara mendadak mengumumkan larangan perjalanan pertama bagi negara mayoritas Muslim ke AS. Keputusan tersebut mengejutkan dunia hingga menyebabkan kekacauan di puluhan bandara AS.
Ratusan pelancong yang berada di udara ketika pengumuman dibuat, tiba-tiba memiliki visa AS yang tidak berlaku lagi. Banyak yang ditahan dan dikirim pulang ke negara masing-masing.
Di dalam negeri AS, pengumuman Trump menimbulkan kemarahan kelompok hak asasi manusia. Mereka menentang tindakan tersebut di pengadilan dengan alasan bahwa tindakan tersebut diskriminatif dan inkonstitusional.
Pemerintahan Trump menyusun ulang perintah itu beberapa kali di tengah gugatan hukum. Mahkamah Agung lantas mendukung versi itu pada 2018. Negara-negara yang dikenakan pembatasan memasuki AS telah berubah selama bertahun-tahun.
Pengadilan rendah AS membatalkan dua pengulangan pertama dari larangan tersebut. Namun pada Juni 2018, Mahkamah Agung AS mendukung versi ketiga yang terutama memengaruhi warga negara dari Iran, Yaman, Suriah, Somalia, Nigeria, Libya, Myanmar, Sudan, dan Chad.
Itu juga termasuk pembatasan warga negara dari Eritrea, Kyrgyzstan, Korea Utara, Tanzania dan Venezuela. Catatan resmi menunjukkan setidaknya 88 ribu orang menjadi sasaran larangan.
Anggota Keamanan Nasional Senior di Pusat Studi Imigrasi, Todd Bensman mengatakan, larangan Trump adalah langkah yang dapat dibenarkan, karena memungkinkan agen imigrasi untuk memeriksa warga negara dari negara-negara yang tidak menyimpan atau berbagi catatan intelijen dengan AS. "Negara-negara tertentu itu sangat bermasalah bagi intelijen Amerika dan penegak hukum untuk memeriksa keamanan, karena mereka sebagian besar tidak diatur," kata Todd Bensman, Anggota Keamanan Nasional Senior di Pusat Studi Imigrasi, dikutip laman Aljazirah, Rabu (20/1).
Dia mengutip contoh Libya dan Yaman, dua negara yang dilanda perang yang tidak memiliki pemerintahan yang stabil. "Dari perspektif keamanan nasional, itu hal yang baik. Ini jelas mengurangi risiko bahwa orang akan masuk dan melakukan serangan," ujar Bensman.