REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pilihan Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, untuk tidak membuka ke publik terkait dirinya yang pernah terpapar Covid-19 dinilai lebih untuk mengutamakan kepentingan penanganan dan dampak dari pandemi.
Apalagi komitmen Airlangga yang bersedia menjadi penyintas dengan menjadi pendonor plasma konvalesen menjadi bukti komitmennya pada upaya penanganan Covid-19.
Hal ini disampaikan pengamat politik Akar Rumput Strategic Consulting (ARSC) Bagus Balghi yang menepis anggapan bahwa Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menutupi dirinya terpapar Covid-19 kepada publik.
Menurut Bagus, dalam situasi krisis sebagaimana masa pandemi, sikap Menko Airlangga ini merupakan pilihan kepemimpinan politik yang bijak untuk menjaga kepercayaan dan optimisme publik terhadap pemerintah.
Pertimbangannya adalah jumlah kasus Covid-19 yang meningkat dan dampak ekonomi yang ditimbulkan, Indonesia membutuhkan jajaran pemerintah yang bekerja secara optimal.
“Menurut saya Airlangga bukan menutupi. Sebagai politisi negarawan beliau berupaya menjaga kepercayaan publik terhadap pemerintah. Di tengah kritisisme yang tinggi pada saat itu dalam menghadapi pandemi dan situasi ekonomi. Apalagi posisi Airlangga ini bukan hanya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, melainkan juga Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional,” ujar Bagus.
Bagus mencontohkan sosok Presiden Amerika Serikat di masa Perang Dunia II yakni FD Roosevelt yang mencoba tidak menunjukkan kelumpuhannya kepada publik. Hal itu dilakukannya agar rakyat Amerika tidak turun semangatnya saat itu dalam menghadapi krisis.
“Selama menjalani isolasi mandiri, saya dengar Airlangga juga masih menjalankan kegiatannya sebagai Menko Ekonomi dan Ketua KPCPEN. Artinya, di sini yang harus kita apresiasi adalah sosok pemimpin yang berupaya tetap menjalankan tanggung jawabnya dengan baik. Jika dinilai menutupi menurut saya tidak tepat, karena jika demikian mustahil Airlangga akan mau melakukan donor plasma secara terbuka”, ucap alumni Ilmu Politik Unair Surabaya ini.
Tidak wajib
Sementara itu pakar kebijakan publik dari Poldata Institute Fajar Arif Budiman menyatakan tidak ada kewajiban bagi pejabat negara untuk mengumumkan penyakitnya secara terbuka kepada publik.
“Menurut saya adalah hak setiap orang untuk mengumumkan atau tidak mengumumkan kondisi medisnya. Tidak mengumumkan kondisi medis bukan berarti upaya untuk menutupi kondisi dirinya yang terpapar Covid-19,” ujar Fajar.
Fajar mengatakan bahwa kesediaan Menko Airlangga menjadi donor plasma konvalesen perlu diapresiasi oleh publik. Dimana plasma konvalesen atau plasma darah dari pasien yang sembuh dari infeksi virus Covid-19 mampu membantu penyembuhan pasien Covid-19 lebih cepat.
“Plasma penyintas Covid-19 ini akan sangat berguna untuk pemulihan pasien Covid-19 yang mengalami gejala sedang hingga berat. Kita perlu apresiasi kesediaan Pak Airlangga melakukan donor plasma,” tambahnya.
Terlebih, satu pendonor plasma konvalesen bisa menghasilkan tiga hingga empat kantong plasma. Dan rata-rata satu pasien Covid-19 membutuhkan satu hingga dua kantong. “Jadi, satu kantong plasma konvalesen dari Pak Airlangga bisa menyelamatkan sampai tiga nyawa. Ini yang terpenting,” ujar dia.