REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengumumkan AS kembali bergabung ke Perjanjian Iklim Paris. Langkah di isu perubahan iklim itu menjadi salah satu perintah eksekutif yang Biden tandatangani di hari pertamanya menjabat.
Biden juga memerintahkan peninjauan menyeluruh terhadap semua tindakan Donald Trump melemahkan perlindungan lingkungan untuk mengatasi perubahan iklim. Ia mencabut izin pipa minyak Keystone XL perusahaan TC Energy dari Kanada dan moratorium aktivitas minyak dan gas di Arctic National Wildlife Refuge.
Perintah itu menandai dimulainya kebijakan-kebijakan Biden di bidang perubahan iklim di negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar setelah China. Pemerintah Trump mencela ilmu pengetahuan dan mencabut regulasi lingkungan untuk memaksimalkan pembangunan bahan bakar fosil.
Biden berjanji mengembalikan AS ke jalur yang benar untuk meraih target emisi nol pada tahun 2050. Para ilmuwan berpendapat untuk menghindari dampak paling buruk dari pemanasan global, pemerintah di seluruh dunia harus memotong emisi gas rumah kaca cara dengan membatasi produksi bahan bakar fosil dan berinvestasi pada energi bersih.
Perpecahan politik di Washington membuat langkah tersebut tidak mudah diraih. Perusahaan-perusahaan bahan bakar fosil menentang upaya tersebut. Mitra internasional juga khawatir perubahan kebijakan AS mengarah pada sesuatu yang merusak.
"Dengan adanya seorang penyangkal perubahan iklim di Oval Office, selama empat tahun terakhir kami keluar jalur dengan sangat buruk," kata penasihat Presiden Barack Obama yang membantu merancang Perjanjian Paris 2015, John Podesta, Kamis (21/1).
"Kami memasuki arena internasional dengan kredibilitas yang defisit," tambahnya.