REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Agama setidaknya memiliki dua kekuatan utama, yaitu sebagai faktor kekuatan daya penyatu (sentripetal) dan faktor kekuatan daya pemecah belah (sentrifugal).
Di satu sisi, agama bisa memberikan kegunaan yang luar biasa untuk kehidupan manusia. Tetapi, di sisi lain bisa menjadi bumerang bagi dunia kemanusiaan.
Masalah agama adalah salah satu faktor yang sangat sensitif di Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi karena bangsa Indonesia termasuk penganut agama yang taat. Solidaritas agama biasanya melampaui ikatan-ikatan primordial lainnya, seperti ikatan kesukuan dan ikatan kekerabatan. Oleh karena itu, penataan antarumat beragama dalam kerangka NKRI perlu mendapatkan perhatian khusus.
Di samping itu, fungsi kritis agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara juga sangat diperlukan, terlebih lagi dalam konteks masyarakat bangsa kita yang sedang menjalani masa transisi dari sebuah reformasi.
Fungsi kritis agama diperlukan bukan hanya untuk menyadarkan pola pikir dan perilaku individu di dalam masyarakat, tetapi juga untuk memberikan direction terhadap konsep dan perencanaan pembangunan.
Buku berjudul “Islam Fungsional: Revitalisasi & Reaktualisasi Nilai-Nilai Keislaman” ini ditulis Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof KH Nasaruddin Umar. Ia juga merupakan Rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur'an (PTIQ) Jakarta dan anggota Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).