Sabtu 23 Jan 2021 03:00 WIB

Kedudukan Pajak Negara dalam Islam

Ulama menjelaskan soal pajak negara dalam Islam.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Muhammad Hafil
Kedudukan Pajak Negara dalam Islam. Foto: Menghitung Pajak/ilustrasi
Foto: flickr
Kedudukan Pajak Negara dalam Islam. Foto: Menghitung Pajak/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap warga negara diwajibkan membayar pajak, baik itu dalam bentuk pajak penghasilan, penjualan, pajak bumi dan bangunan, barang masuk, dan lainnya. Namun bolehkah dalam syariat islam hal tersebut diterapkan?

Dikutip dari buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Erwandi Tarmizi, pajak jenis ini telah dihapuskan islam. Akan tetapi kenyataan yang dihadapi sekarang hampir seluruh negara islam menerapkan pajak jenis ini untuk membiayai kebutuhan negara yang semakin bermacam. Untuk itu dibutuhkan ijtihad baru para ulama.

Baca Juga

Para ulama fikih telah membahas tentang hukum menarik pajak selain yang telah ditetapkan sebelumnya, di antara mereka ada yang mengharamkan mutlak dan ada yang membolehkan bersyarat. Dan tidak ada yang membolehkan mutlak tanpa syarat karena diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya bahwa Nabishallallahu alaihi wa saIIam bersabda kepada Khalid bin Walid radhiyallahu anhu yang melemparkan batu dengan kencang kepada wanita yang dirajam karena berzina,

"Sabar wahai khalid! Demi Allah, sungguh wanita itu telah bertaubat, kalau penarik mucus (pajak) bertaubat seperti dia, niscaya diampuni dosanya".

Selain itu juga sabda Nabi shallallahu alaihi wa saIIam

yang berbunyi, "Tidak masuk surga para penarik pajak" (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Sementara itu, di antara ulama yang mengharamkan negara menarik pajak adalah Al Mawardi dan Abu Ya'la. Dalil pendapat yang mengharamkan, firman Allah,

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil" (An Nisaa ayat 29).

Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, "Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram untuk kalian langgar satu sama lain" (HR. Bukhari Muslim).

Pada dasarnya harta setiap muslim haram untuk diambil tanpa hak. Dan mukus telah dilarang oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

- Kewajiban seorang muslim pada hartanya telah dijelaskan syariat, dan pajak tidak termasuk bagian dari kewajiban yang harus ditunaikan dari harta. Bahkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan genting, saat akan perang tidak pernah menarik pajak. Beliau lebih memilih cara berhutang kepada sahabat yang kaya, dan menarik zakat sebelum jatuh tempo, serta menganjurkan untuk bersedekah jika tidak memiliki kemampuan menghadang musuh.

- Dalil selanjutnya adalah sadd zariah. Andai hal ini dibuka, maka menjadi kesempatan bagi penguasa yang zalim untuk mengambil harta umat islam.

- Pajak tidak pernah diterapkan para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang menjadi penguasa atau khalifah di masa-masa keemasan Islam, maka menarik pajak adalah suatu kebijakan yang tidak dicontohkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Tanggapan dalil, ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengharamkan mengambil harta orang lain dengan tanpa hak tidak menafikan adanya kewajiban dalam harta terhadap kerabat dan fakir miskin. Dan pajak yang ditarik atas kebutuhan pokok sebuah negara lebih penting daripada kebutuhan individu.

Hadis-hadis yang mengharamkan mukus itu bermakna mukus yang zalim. Adapun pajak yang ditarik berdasarkan kebutuhan pokok sebuah negara bukanlah suatu kezaliman.

Adapun dalil bahwa Nabi hanya berhutang dan tidak menarik pajak, itu dimungkinkan jika diharapkan akan ada pemasukan kas negara untuk menutupi hutang negara. Sementara jika tidak ada harapan untuk menutup hutang, tentu menarik pajak dengan ketentuan syari merupakan satu-satunya jalan.

Di samping itu, dalil bahwa sadd zariah bisa diatasi dengan membuat ketentuan untuk penarikan pajak yang dibolehkan.

Sementara itu, hal ini tidak pernah dilakukan di masa sahabat telah ditanggapi oleh Syatibi "Karena tidak ada kebutuhan di waktu itu, di mana keuangan baitulmal (perbendaharaan negara) cukup untuk membiayai belanja negara".

Selanjutnya, para ulama yang membolehkan menarik pajak dalam kondisi dan syarat tertentu, di antaranya, Al Juwaini, Syatibi, para ulama Andalus dan ulama mazhab Hanafi dan Ibnu Taimiyah. Dengan syarat:

1. Ada (hajah) kebutuhan riil suatu negara yang mendesak, seperti menghadapi musuh yang hendak menyerang. Ibnu Abidin berkata, "Pemerintah boleh menarik pajak jika ada maslahat untuk warganya".

2. Pemasukan negara dari jizyah, kharaj dan lain-lain tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan pokok negara. Dengan kata lain kas baitul maal kosong. Ibnu al Arabi berkata, "Kas negara habis dan kosong".

3. Bermusyawarah dengan ahlul hilli walaqdi (para tokoh agama). Ibnu Al Arabi berkata, "Tidak halal mengambil harta warga negaranya kecuali untuk kebutuhan mendesak dengan cara adil dan dengan musyawarah kepada para ulama".

4. Ditarik dengan cara yang adil dengan hanya mewajibkan pada harta orang yang kaya dan mampu. Al Haitami berkata, "Menolak mudharat umat merupakan tanggung jawab bagi orang yang mampu, yaitu orang yang memiIIiki kelebihan harta setelah dikeluarkan kebutuhan pokoknya" (Tuhfat Muhtaj).

5. Pendistribusian pajak yang ditarik untuk kepentingan yang telah ditujukan. Tidak boleh didistribusikan untuk hal yang bersifat mewah.

6. Adanya kebutuhan yang mendesak. Jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi maka pajak tidak boleh lagi ditarik. Dengan kata lain penerapan pajak bersifat sementara dan bukan menjadi pemasukan tetap sebuah negara. Syatibi berkata, "Pajak ditarik atas dasar darurat dan diukur seperlunya. jika darurat telah hilang maka pajak pun mesti dihapuskan".

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement