REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mabruroh, Dian Fath Risalah, Bambang Noroyono
Tim Advokasi Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) telah melaporkan tragedi Jakarta 21-22 Mei 2019, dan peristiwa pembunuhan 7 Desember 2020 di Tol Japek Km 50 ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda. Pelaporan itu dilakukan, karena menilai dua kejadian tersebut sebagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat resmi negara.
“Ini bukti pelaporan Tim Advokasi Korban Pelanggaran HAM berat, tragedi 21-22 Mei 2019, dan pembantaian 7 Desember oleh aparat negara ke ICC,” kata salah satu anggota Tim Advokasi Korban, Munarman dengan menyampaikan gambar tangkapan layar aduan ke ICC lewat pesannya kepada Republika, Selasa (19/1) malam.
Munarman menerangkan, pelaporan tersebut, resmi dilayangkan pada 16 Januari 2021. Laporan dikirim kepada Juru Bicara, dan Kepala Departemen Luar Negeri ICC Fadi El-Abdallah.
Dalam laporan berbahasa Inggris tersebut, Tim Advokasi menilai terjadinya praktik pembiaran tanpa hukuman yang dilakukan pemerintah Indonesia atas dua peristiwa pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap rakyatnya sendiri. Pembiaran tersebut berupa ketidakmampuan, dan keengganan pemerintah Indonesia memastikan penegakan hukum yang adil terhadap pelaku-pelaku pembunuhan dalam peristiwa 21-22 Mei, dan 7 Desember.
“Kami berjuang untuk keadilan, dan memutus rantai impunitas yang sudah sangat mengerikan di negeri ini. Kami akan memberikan informasi-informasi pelanggaran HAM berat kepada komunitas HAM internasional (ICC), karena terbukti sistem hukum Indonesia, yang tidak menghendaki, dan tidak mampu memutus mata rantai pelanggaran HAM berat yang sampai saat ini, pelakunya masih berkeliaran mengancam warga sipil di Indonesia,” begitu isi laporan Tim Advokasi tersebut.
Namun, upaya Munarman cs melaporkan kasus tewasnya laskar FPI ke ICC dinilai pesimistis oleh sebagian kalangan. Pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana bahkan yakin, laporan itu tidak akan diterima.
"Menurut saya tidak akan diterima karena Indonesia belum ikut atau meratifikasi Statuta Roma," ujar Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) itu kepada Republika, Rabu (20/1).
Hikmahanto melanjutkan, ICC hanya akan melakukan proses lanjutan apabila Indonesia merupakan negara anggota. Jika bukan, kata dia, kasus yang melibatkan negara tersebut akan dimandatkan kepada DK PBB.
"Jadi menurut saya tidak akan diterima aduan tersebut," tutur Guru Besar Hukum Internasional UI itu.
Sambungnya, jika kasus penembakan itu dimandatkan oleh DK PBB, maka selanjutnya bisa dilakukan penyidikan oleh Prosecutor Office. Hingga akhirnya, dicari siapa yang bertanggung jawab.
Namun demikian, jika mendapat mandat ke DK PBB, maka ia sebut harus ada perhatian serius dari negara. Sehingga, bisa dibahas di DK PBB bersama anggota tetap dan tidak tetapnya.
Pemerintah Indonesia, saat ini sudah tidak menjadi anggota tidak tetap DK PBB, setelah sebelumnya menjadi salah satu pimpinan sejak 1 Januari 2019-31 Desember 2020. Sebelumnya, Indonesia, juga sempat menjadi DK PBB sebanyak tiga kali, 1974-1975, 1995-1996, dan 2007-2008.
Hikmahanto melanjutkan, sebenarnya, kasus penembakan laskar FPI, memiliki kemiripan dengan kasus Rohingya untuk pengajuan ke mahkamah internasionalnya. Jika tetap bersikeras dimuat di ICC, ia menilai harus ada pretrial dahulu.
"Tapi kalau enggak jadi atensi dari DK PBB tidak mungkin ya," ungkap dia.