REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kamis 21 Januari lalu, adalah momen yang paling ditunggu Fachrizal Afandi, mahasiswa S3 dari Indonesia, yang tengah mengenyam pendidikan di Universitas Leiden, Belanda.
Dibantu istrinya Ruly Wiliandri, Fachrizal menyiapkan segala sesuatunya dengan baik. Salah satu yang harus disiapkan dan tidak boleh lupa dibawa adalah kopiah hitam dan sarung batik, kostum yang akan dikenakan di depan para professor.
Inilah yang tidak biasa dari promosi-promosi doktoral lainnya: kopiah dan sarung, dipadu jas tuksedo hitam yang menjuntai ke bawah.
“Setelah izin ke universitas yang cukup memakan waktu, insya Allah saya akan pakai sarung dan kopiah hitam. Ini pertama setelah Indonesia merdeka,” begitu informasi Fachrizal, aktivis PCINU Belanda ini, beberapa hari sebelum pelaksanaan sidang.
Lantas dia membagikan foto seorang lelaki yang kita kenal sebagai priayi Jawa peraih doktor pertama di Belanda Husein Djajadiningrat. Dalam selembar foto itu, Husein Djajadiningrat lengkap memakai blangkon, beskap, dan kainnya serta keris tampak menyelinap di balik pinggangnya.
“Dari awal kuliah sudah pengen pakai sarung dan kopiah saat ujian nanti. Inspirasi saat lihat patung husein jayadiningrat, PhD dari priayi Jawa pertama di Leiden. Saya lihat meski banyak teman-teman mahsiswa islamic studies di Leiden, tapi kok ndak pernah menunjukkan tradisi santri berupa kopyah dan sarung ini. Meski saya kuliah hukum, tapi keterlibatan di NU mendorong saya untuk promosi tradisi santri ini. Izin ke universitas untuk memakai pakaian mirip Husein tapi ala santri,” jelasnya. Pada hari yang dekat, dia pesan sarung batik merek Lar Gurda, yang diporduksi Pesantren Al-Muayyad Solo, Jawa Tengah. “Saya memilih batik karena pernah melihat Gus Mus mengenakannya,” kisahnya.
Dengan mengayuh sepeda, Fachrizal, Ruly, dan dua anaknya Danis (8 tahun) serta Shafwa (5 tahun) menuju gedung Academie gebouw di area Universitas Leiden.