REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan selama ini Indonesia salah menerapkan sistem pemeriksaan (testing) Covid-19. Meskipun tes di Indonesia telah melampaui standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hasil tes mandiri berpengaruh pada jumlah kasus COVID-19 yang terus bertambah di Indonesia.
"Testing, tracing, dan treatment ( 3T) serta isolasi bagaikan menambal ban bocor. Tapi kita kan tidak disiplin. Cara testing-nya kita salah," ujar Budi dalam acara "Vaksin dan Kita" yang diselenggarakan Komite Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Daerah Jawa Barat, Jumat (22/1).
Mengenai hal ini, Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono menjelaskan, bahwa pemahaman Menkes mengenai testing tersebut kurang tepat. Ia menjelaskan bahwa dalam tes penyebaran virus, memang terdapat active case detection (deteksi aktif) melalui contact tracing yang terinfeksi virus, serta passive case detection yakni tes mandiri yang diambil berdasarkan kebutuhan masyarakat. Misalnya ketika merasa telah tertular atau untuk bepergian.
"Tes kita memang tercampur antara deteksi aktif dan pasif untuk monitoring. Itu boleh seperti itu," ujar Miko kepada Republika.co.id, Ahad (24/1).
Kedua tes tersebut, kata Miko, memang seharusnya dilakukan untuk mengetahui penyebaran virus. Di sisi lain, meskipun tes virus corona Indonesia telah melampaui standar WHO, ia mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara yang besar, dan sulit memantau daerah- daerah pedalaman atau pedesaan apakah sudah banyak dilakukan tes atau tidak.
"Jangan lupa, provinsi yang paling banyak tes adalah DKI Jakarta, ketimpangan kita masih kurang. Kota-kota yang tesnya banyak, di desa-desa masih jarang, apakah di desa memang tes atau nggak, kita mana tahu," ujar Miko.
Hingga 22 Januari 2021, Satgas Penanganan Covid-19 mencatat total jumlah kasus positif Covid-19 mencapai 965.283. Adapun untuk jumlah pasien sembuh adalah 781.147 orang, dan pasien meninggal yakni 27.453 orang.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook