REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, jurnalis Republika.
Hari-hari ini terjadi geger soal jilbab kembali. Ada seorang orang tua non-Muslim di sebuah SMK Negeri di Padang mengatakan, putrinya dipaksa oleh peraturan sekolah memakai jilbab.
Berbagai kontroversi pun timbul. Berbagai klarifikasi muncul, baik dari penjelasan pihak sekolah secara langsung, pihak Depdikbud setempat, hingga mantan wali kota yang bicara mengapa aturan itu ada dan sejak lima tahun lalu saat aturan dibuat tak ada pemaksaan bagi siswi non-Muslim memakai jilbab.
Namun, apa pun kontroversi itu, kini soal jilbab menyeruak kembali. Hal ini juga sebenarnya tak terjadi di Indonesia saja. Di Eropa, misalnya, pun begitu. Di Prancis, Belgia, dan negara Eropa lain juga sama dengan sikap non-Muslim di Indonesia. Di sini, minoritas menutut siswi sekolah untuk jangan memakai jilbab. Di Eropa, Muslim yang menjadi minoritas menuntut pemakaian jilbab. Sama-sama menuntut, hanya beda tujuan.
Munculnya kontroversi ini juga mau tidak mau dikaitkan denga suasana 'persaingan politik' masa lalu hungga kini di Indonesia atau mereka yang pro-Islam dan kelompok yang tidak. Situasi kontemporer sama persis seperti yang terjadi pada 1980-an kala Orde Baru sedang kuat-kuatnya karena ekonomi negara saat itu lumayan.
Soal pemakaian jilbab di Indonesia memang mau tidak mau hadir ketika muncul Revolusi Iran yang dipimpin Imam Khoemaeni pada 1979. Kala itu, Muslim Indonesia tersentak karena ternyata ada kekuatan Islam politik yang mampu berada di puncak kekuasaan sebuah negara. Janggut, serban, celana cingkrang, jilbab, hingga pengajian anak-anak muda muncul dengan marak.
Maka, demam Revolusi Iran sangat terasa melanda publik. Para mahasiswi di kampus-kampus, diawali satu-dua orang, mulai memakai jilbab meski penguasa kala itu mempersekusi dan melarang mereka berkuliah. Siswi sekolah di SMA pun begitu. Mereka mulai banyak yang 'nekat' memakai jilbab meski ada aturan yang keras melarangnya.
Di kancah budaya, soal pemakaian jilbab bergulir cepat serta membahana. Dan memang, pada masa Orde Baru, 1982, Daoed Joesoef yang merupakan Mendikbud saat itu melarang pemakaian jilbab di sekolah-sekolah negeri melalui Surat Keputusan 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional pada 17 Maret 1982. Ini dialami pemakai jilbab yang merupakan imbas kecurigaan Pemerintah Orde Baru atas peran Islam politik sejak beberapa tahun sebelumnya yang dianggap merongrong Pancasila.
Melihat kondisi itu, Emha Ainun Nadjib gelisah karena pelarangan tersebut adalah pelanggaran atas hak setiap manusia untuk memilih dan harus diprotes. Kegelisahan itu beliau tuangkan dalam puisi berjudul “Lautan Jilbab”.
Puisi yang ditulis Emha secara spontan kemudian dibacakan dalam forum “Ramadhan on Campus” yang diselenggarakan Jamaah Shalahuddin UGM pada Mei 1987. Puisi “Lautan Jilbab” mendapat respons yang meriah dari sekitar 6.000 orang yang hadir.
Emha lalu mengembangkan puisi itu menjadi lakon teater sebagai sarana protes atas kecenderungan Orde Baru menghalangi umat Muslim mengekspresikan keberislaman. Lakon itu dipentaskan pertama kali di UGM. Selama dua hari pementasan, “Lautan Jilbab” ditonton tak kurang dari 5.000 orang
Emha Ainun Nadjib membawa pertunjukan kolosal "Lautan Jilbab" digelar di berbagai kota. Penontonnya membeludak.
Berikut ini sepotong syair puisi 'Lautan Jilbab' karya Emha Ainun Nadjib:
Wahai Muslimah, berbanggalah…
Para malaikat Allah tak bertelinga, tapi mereka mendengar suara nyanyian beribu-ribu jilbab.
Para malaikat Allah tak memiliki mata, tapi mereka menyaksikan derap langkah beribu jilbab.
Para malaikat Allah tak punya jantung, tapi sanggup mereka rasakan degub kebangkitan jilbab yang seolah berasal dari dasar bumi.
Para malaikat Allah tak memiliki bahasa dan budaya, tapi dari galaksi mereka seakan-akan terdengar suara: Ini tidak main-main! Ini lebih dari sekadar kebangkitan sepotong kain!
Para malaikat Allah seolah sedang bercakap-cakap di antara mereka
Kebudayaan jilbab itu, bersungguh-sungguhkah mereka?
O, amatilah dengan teliti: Ada yang bersungguh-sungguh, ada yang akan bersungguh-sungguh, ada yang tidak bisa tidak bersungguh-sungguh.
Sedemikian pentingkah gerakan jilbab di negeri itu?
O, sama pentingnya dengan kekecutan hati semua kaum yang tersingkir, sama pentingnya dengan keputusasaan kaum gelandangan, sama pentingnya dengan kematian jiwa orang-orang malang yang dijadikan alas kaki sejarah.