REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Berdirinya pesantren tak terlepas dari beragam dinamika lingkungan sekitar. Yang menjadi ciri khas persantren atau ciri khas ulama adalah berbuat baik sama orang lain itu gampang.
“Gampangnya itu dimulai bahwa dengan berbuat baik itu kita dapat pahala. Kedua, dengan cara tawadu atau tidak merasa benar sendiri, tidak merasa superior sendiri, tidak merasa paling top sendiri,” kata KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha, sebagaimana dikutip dari dokumentasi Harian Republika.
Dia mengatakan, ada beberapa paradoks yang mungkin menjadi pelajaran . Mungkin ada yang menjadi doktor, ada yang profesor, ada yang kiai alim, atau ada yang menjadi pengusaha top. Tapi seringnya orang tuanya itu terkadang tidak tamat SD atau tidak tamat SMP.
Jadi, orang yang tidak tamat SD bisa mengkader atau menciptakan orang sampai menjadi doktor. Sedangkan kita kadang-kadang yang doktor menjadikan anak naik kelas saja susah. Pertanyaannya yang pintar itu siapa?
Jadi, orang awam bisa menjadikan anaknya alim sebagai doktor dan kiai. Sedangkan yang doktor, karena mungkin hidup kita mapan atau jabatan kita mentereng, mendidik anak itu susah. Sehingga di sini orang harus berlatih kearifan.
“Dulu ketika kita kecil, mungkin mengalami keterbatasan keluarga atau zaman. Tapi, yang menggerakkan kehidupan orang dulu itu kearifan. Sehingga orang itu bawaannya sudah bijak. Meskipun mengalami masalah apapun tetap bijak,” ujar dia.
Misalnya, ketika tidak mempunyai uang tetap mempunyai harapan. Tapi kalau sekarang, belum-belum sudah ditabung, diasuransikan, sehingga orang itu kepercayaannya kepada materi itu luar biasa, bergantung pada materi.
“Dan yang menjadi awal dari masalah itu ketika yang diangan-angan itu tidak ada, karena terlalu bergantung pada materi. Sehingga kita yang menekuni dunia ulama atau dunia fikih, kita kemudian belajar bahwa orang-orang top itu dilahirkan dari kearifan bukan dari hal yang bersifat materi,” kata dia.