REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mendesak pemerintah Sri Lanka untuk menghentikan kebijakan kremasi paksa jenazah korban Covid-19, Senin (25/1). Praktik ini bertentangan dengan kepercayaan Muslim dan populasi minoritas lainnya.
"Pemberlakuan kremasi sebagai satu-satunya pilihan untuk menangani jenazah yang dikonfirmasi atau diduga Covid-19 merupakan pelanggaran hak asasi manusia," kata para ahli dalam sebuah pernyataan dikutip dari Aljazirah.
Sri Lanka mewajibkan kremasi bagi orang-orang yang meninggal atau diduga meninggal akibat virus corona sejak Maret tahun lalu. Pakar hak asasi manusia PBB mengatakan kebijakan tersebut dapat menimbulkan prasangka, intoleransi, dan kekerasan.
"Belum ada bukti medis atau ilmiah yang mapan di Sri Lanka atau negara lain bahwa penguburan jenazah menyebabkan peningkatan risiko penyebaran penyakit menular seperti Covid-19," ujar ahli dari PBB tersebut.
Para ahli PBB mencatat bahwa sementara pemerintah menugaskan otoritas kesehatan untuk mengeksplorasi opsi penguburan di tengah pandemi, saran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk kedua opsi tersebut malah diabaikan.
"Kami prihatin mengetahui bahwa rekomendasi untuk memasukkan opsi kremasi dan penguburan untuk peristirahatan jenazah korban Covid-19 oleh panel ahli yang ditunjuk oleh Menteri Negara Layanan Kesehatan Primer, Pandemi, dan Pencegahan Covid dilaporkan diabaikan oleh Pemerintah," kata para ahli.
Selain itu, PBB mengatakan kebijakan kremasi paksa hanya akan menghalangi orang untuk mencari perawatan kesehatan. Hal ini diakibatkan mereka ketakutan akan diskriminasi nantinya.
"Kami sama-sama prihatin bahwa kebijakan semacam itu menghalangi orang miskin dan paling rentan untuk mengakses layanan kesehatan publik karena takut akan diskriminasi," ujar para ahli memperingatkan.
Beberapa protes dilaporkan di timur laut Sri Lanka bulan lalu terhadap kremasi paksa. Banyak pita putih yang diikatkan ke gerbang krematorium sebagai tanda kemarahan.
Banyak warga lainnya memprotes secara daring, mengeklaim Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa menggunakan pandemi untuk meminggirkan minoritas Sri Lanka, terutama Muslim. Padahal Muslim merupakan 10 persen dari 21 juta penduduk Sri Lanka.