Selasa 26 Jan 2021 18:01 WIB

1 Juta Kasus dan Tanda-Tanda Pandemi Belum Berakhir

PPKM tidak akan efektif tekan pandemi jika tidak ada perubahan pengaturan.

Tenaga kesehatan saat beristirahat di RSDC Wisma Atlet, Jakarta, Selasa (26/1). Data Satgas Covid-19 pada Selasa (26/1) mencatat kasus positif di Indonesia bertambah 13.094 sehingga total kasus positif bertambah menjadi 1.012.350 kasus COVID-19 di Tanah Air dari terhitung sejak 2 Maret 2020. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Tenaga kesehatan saat beristirahat di RSDC Wisma Atlet, Jakarta, Selasa (26/1). Data Satgas Covid-19 pada Selasa (26/1) mencatat kasus positif di Indonesia bertambah 13.094 sehingga total kasus positif bertambah menjadi 1.012.350 kasus COVID-19 di Tanah Air dari terhitung sejak 2 Maret 2020. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Rizky Suryarandika, Wahyu Suryana

Hari ini angka kasus terkonfirmasi positif Covid-19 menembus satu juta. Dengan penambahan kasus harian di Selasa (26/1) sebanyak 13.094, maka total kasus positif Covid-19 mencapai 1.012.350.

Semakin tingginya jumlah kumulatif kasus positif menunjukan laju peningkatan kasus masih belum terkendali. Upaya yang dilakukan selama ini juga masih belum efektif mengendalikan penambahan kasus.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Ari Fahrial Syam, menilai upaya pemerintah menangani pandemi seperti tidak punya arah yang jelas. Dokter Ari pertama menyinggung soal tidak adanya perbedaan dalam kehidupan masyarakat di masa pandemi. Ia memantau kemacetan masih terjadi, kecuali pada malam tahun baru karena beberapa kota melakukan penjagaan ketat hingga polisi dan tentara turun ke jalan.

"Kenapa kondisi penjagaan yang ketat ini tidak terus dipertahankan terutama pada malam hari, agar kita bisa mengurangi kasus dulu, rem dan gas harus benar-benar diterapkan," kata Ari dalam keterangan pers yang diterima Republika.

Ari juga mencermati istilah yang berganti-ganti dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Istilah Orang Tanpa Gejala (OTG), Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) turut berganti menjadi suspek, kontak erat dan konfirmasi.

"Saya tidak mau berandai-andai, tetapi memang dari awal istilah lockdown atau karantina wilayah seperti tabu untuk digunakan atau dijalankan," ujar Ari.

Ari menyayangkan pula lemahnya penegakan hukum dalam penanganan pandemi. Menurutnya, penegakan hukum tidak dilakukan secara masif dan konsisten. Kondisi ini dianggapnya berbeda dari negara lain.

"Sedihnya pelanggar protokol kesehatan dilakukan oleh para tokoh politik atau tokoh masyarakat yang harusnya menjadi health influencer malah sebaliknya memberi contoh yang tidak baik kepada masyarakat," ucap Ari.

Selain itu, Ari menyoroti cakupan vaksinasi masih rendah karena ada kegagalan registrasi. Namun menurutnya, masalah ini disadari oleh Kemenkes hingga terlihat upaya memperpendek prosesnya agar pemberian vaksin dapat dilaksanakan dengan cepat.

"Walaupun begitu, masyarakat harus tetap konsisten dalam melaksanakan protokol kesehatan khususnya 3M, yaitu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak," sebut Ari.

Ari mengingatkan perlunya evaluasi pembatasan sosial karena belum efektif mengendalikan jumlah kasus yang masuk satu juta hari ini. "Pandemi yang awalnya diperkirakan berakhir dalam 1 tahun, tetapi kenyataannya setelah 1 tahun, tanda-tanda berakhirnya pandemi belum dapat diprediksi," tutur Ari.

Upaya mengevaluasi kebijakan pembatasan sosial seperti PPKM atau Pemberlakukan Pembatasan Kebijakan Masyarakat juga dinilai epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), dr Bayu Satria Wiratama, diperlukan. PPKM disebutnya bisa efektif asal ada perubahan.

Ia menekankan, perlu ada perubahan dalam penerapan harus dilakukan lebih ketat karena PPKM sebelumnya tidak cukup efektif. "Kebijakan memperpanjang PPKM ini tepat asal ada perubahan dan evaluasi terkait PPKM sebelumnya mengapa kurang berhasil, sebab selama ini terkesan hanya ganti nama tanpa ada perubahan ke arah yang lebih baik," kata Bayu.

Bayu menyampaikan, pada pelaksanaan PPKM kali ini harus dilakukan lebih jelas dan terukur. Artinya, PPKM bukan sekadar memperpendek jam operasional dan mengurangi kapasitas, tapi harus ada evaluasi berdasar data epidemiologi.

Menurut Bayu, mobilitas harus jadi pencegahan utama, bukan tujuan mobilitas seperti pusat perbelanjaan, tempat makan dan lain-lain. Jika hanya memperpendek jam operasional dan menurunkan kapasitas kurang efektif mencegah penyebaran.

Sebab, percuma jika mobilitas ke tempat-tempat lain seperti rumah teman, taman dan lainnya tidak dicegah karena masih akan berinteraksi satu sama lain. Bayu melihat, PSBB total sebenarnya lebih efektif karena orang tidak boleh ke luar.

"Kecuali untuk hal yang benar-benar penting seperti membeli makan, belanja kebutuhan dan berobat," ujar Bayu.

Ia menegaskan, PPKM tidak akan berjalan efektif memutus mata rantai penyebaran Covid-19 bila tidak ada perubahan sisi pelaksanaan dan pendekatan. Terlebih, melihat kondisi pertambahan kasus Covid-19 di Tanah Air yang terus meningkat.

Terutama, di daerah-daerah yang tidak terdeteksi sistem pengawasan, PPKM tidak akan berhasil tanpa pembatasan mobilitas yang dilaksanakan benar dan ketat. Maka itu, masyarakat perlu pula diedukasi terkait pembatasan yang dimaksud.

"Salah satunya lewat iklan di televisi dan YouTube. Pendekatan lain dapat ditempuh dengan mengaktifkan relawan tingkat RT/RW, bertugas melakukan pengawasan tamu yang masuk dan memastikan mereka menjalankan prokes secara ketat," kata Bayu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement