REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Legislasi DPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bukhori Yusuf menolak jika hak mantan anggota ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengikuti Pemilu harus dicabut. Bukhori menyatakan memilih dan dipilih dalam Pemilu merupakan hak dasar warga negara Indonesia.
"Dia terlepas HTI atau bukan HTI hak sebagai warga negara untuk memilih dan dipilih itu absolut tidak bisa diambil paksa oleh siapa pun," kata Bukhori pada Republika, Rabu (27/1).
Bukhori menyampaikan, pembubaran ormas HTI oleh pemerintah sebenarnya tidak dilakukan lewat mekanisme pengadilan. Sehingga pembubaran HTI dianggapnya kejadian politik murni dalam rezim saat ini bukan konsensus negara. Dengan demikian, menurut Bukhori HTI tak bisa disebut ormas terlarang setingkat Partai Komunis Indonesia (PKI).
"HTI beda dengan komunis (PKI) yang dibubarkan lewat tap MPR/MPRS. Dan itu masih berlaku sampai sekarang, tidak bisa diubah karena MPR sekarang beda dengan dulu," ujar Bukhori.
Bukhori mengingatkan pemerintah supaya berlaku adil dengan pemenuhan hak tiap warganya. Ia menyarankan, jika HTI dilarang maka wajib menempuh prosedur pengadilan. Kemudian, pemerintah menentukan siapa saja eks HTI yang tak boleh berpolitik lagi.
"Makanya kalau mau larang harus lewat mekanisme pengadilan dan ditentukan person to personnya yang memang dicabut hak dipilih/memilihnya," ucap Bukhori.
Dalam RUU Pemilu, aturan mengenai larangan eks anggota HTI ikut Pilpres, Pileg, dan Pilkada tertuang dalam Buku Ketiga Penyelenggaraan Pemilu, BAB I Peserta Pemilu Bagian Kesatu Persyaratan Pencalonan.
Pasal 182 ayat 2 (ii) menyebutkan bahwa calon Presiden, Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Anggota DPRD Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati/ Walikota dan Wakil Walikota serta Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.3O.S/PKI.
Lalu, dalam Pasal 182 ayat 2 (jj) menyebutkan bahwa calon Presiden, Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Anggota DPRD Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati/ Walikota dan Wakil Walikota serta Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan bukan bekas anggota HTI.
Anggota Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menjelaskan argumen adanya klausul dalam RUU Pemilu terkait eks-anggota HTI dilarang ikut dalam kontestasi Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif, dan Pilkada. Menurut Zulfikar, salah satu alasannya adalah organisasi tersebut tidak sejalan dengan konsensus dasar berbangsa dan bernegara.
"HTI, pengurus, dan anggotanya bertolak belakang dengan empat konsensus dasar bangsa Indonesia, bahkan hendak menggantinya. HTI juga sudah dinyatakan pemerintah sebagai organisasi terlarang," kata Zulfikar di Jakarta, Selasa (26/1).
Empat konsensus dasar bangsa Indonesia itu adalah Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Zulfikar menjelaskan, untuk menjadi pejabat publik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif, termasuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI-Polri, dan pegawai BUMN/BUMD harus ada persyaratan dan janji yang harus dipenuhi.
Menurut dia, persyaratan dan sumpah/janji tersebut di semua peraturan perundangan menghendaki adanya komitmen serta kesetiaan kepada empat konsensus dasar bangsa.
"Hal tersebut fundamental bagi keberlangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita," ujarnya.