REPUBLIKA.CO.ID, IHRAM.CO.ID, Oleh Idham Cholid, Ketua Umum Jamaah Yasin Nusantara (JAYANUSA); Pembina Together we life Community
Dengan telah dilantiknya Kapolri yang baru, tentu kita mengucapkan selamat. Tidak saja karena Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah resmi menjadi Kapolri, lebih dari itu bahwa harapan akan terwujudnya perubahan sudah makin nyata. Ini tak berlebihan, karena Program Tranformasi Menuju Polri yang Presisi dengan empat langkah kebijakan transformasi yang ditawarkan juga sangat menjanjikan.
Publik tentu sangat berharap hal itu tak akan sekadar menjadi "janji" manis semata. Kita juga percaya, Kapolri yang baru saja dilantik itu bisa membuktikannya segera. Dia telah buktikan berani bersikap tegas --akan mewajibkan kajian kitab kuning misalnya, bagi saya, itu sudah cukup untuk menilainya sebagai pemimpin yang cerdas: berpikir dan bertindak cepat.
Kecerdasan pemimpin tentu juga akan dinilai, sejauhmana mengelola kebijakan, merumuskan dan menjabarkannya secara detail hingga benar-benar bisa tampak dan dirasakan hasilnya. Disinilah kita sangat memahami, kenapa Presiden Jokowi selalu tegaskan "harus fokus dan tuntas" di berbagai kesempatan.
Sebagai orang daerah, saya berpikir sederhana saja, bagaimana Polri semakin dekat dengan masyarakat. Kedekatan yang dibangun, tidak semata hubungan secara personal antara Polisi dengan warga, tapi lebih pada program yang memang bisa mendorong keterlibatan warga masyarakat itu sendiri.
Sinergi Polisi-Santri
Sekali lagi, apa yang akan menjadi kebijakan Kapolri tentang kajian kitab kuning, adalah langkah yang tepat. Jika biasanya kiai diundang sesekali untuk mengisi pengajian, tentu dengan kebijakan itu nanti akan semakin intens lagi. Jika pengajian --biasanya dalam rangka perayaan hari besar Islam-- hanya mengundang seorang kiai untuk sekadar memberi tausiyah, maka untuk kajian kitab kuning akan lain ceritanya.
Dalam seminggu satu kali saja itu dilakukan, maka untuk Polres setingkat Kabupaten Wonosobo yang jumlah personilnya 700-an misalnya, akan melibatkan lebih dari 10 santri. Jika rutin, karena ini telah diprogramkan, maka dalam sebulan saja, Polri sudah melakuan "relasi" yang produktif dengan santri. Tentu, santri disini adalah orang yang paham agama, atau kalangan pesantren khususnya.
Jika program itu secara konsisten berjalan satu tahun saja sebagai uji coba, dan dilakukan secara massif di seluruh Indonesia, kita akan melihat bagaimana perubahan wajah kepolisian kita. Polri makin dekat dengan masyarakat. Dengan kedekatan yang substantif seperti itu, berbagai persoalan pun bisa secara bersama-sama dipecahkan.
Karena sebagaimana umum diketahui, keterlibatan kalangan pesantren --terutama kiai-- selama ini hanya insidental, juga kasuistik ketika muncul permasalahan saja. Meminjam istilah Wapres KH. Ma'ruf Amin, "kiai hanya dijadikan pemadam kebakaran" ketika api persoalan berkobar. Bahkan --masih menurut istilah Wapres-- hanya seperti "daun salam," dicari saat menyiapkan masakan tapi dibuang pertama kali saat akan dihidangkan.
Dalam kaitan ini, saya menangkap, apa yang menjadi kebijakan Kapolri nanti, benar-benar dapat membangun sinergi Polri dan kalangan santri lebih kokoh lagi. Tiada lain, untuk menjawab persoalan mendasar berkaitan dengan terorisme, radikalisme, juga paham intoleran yang memang harus segera dituntaskan. Tanpa itu, kita akan terus menyaksikan benturan antar warga masyarakat hanya karena persoalan rasial, perbedaan paham dan pemahaman ajaran keagamaan.
Jika itu saja bisa dilakukan segera, maka kita semua akan mencatat Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Sigit telah berkonstribusi secara nyata dalam mewujudkan keberagamaan yang ramah dan berbudaya.