REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI - Pasukan keamanan Lebanon untuk hari ketiga bentrok di Tripoli dengan para pengunjuk rasa yang marah karena karantina virus corona. Saksi dan media lokal melaporkan polisi antihuru-hara menembakkan peluru tajam ketika pengunjuk rasa mencoba menyerbu gedung pemerintah kota.
Pasukan keamanan menembakkan gas air mata dan peluru karet ke para pengunjuk rasa yang melemparkan batu, meledakkan bom molotov, dan membakar mobil, kata seorang saksi mata dan polisi. Puluhan orang terluka. Polisi belum berkomentar apakah peluru tajam telah ditembakkan.
Rekaman Reuters menunjukkan percikan api menghantam tanah, tampaknya dari peluru yang memantul, dan suara tembakan. Kejadian itu menandai malam ketiga kekerasan berturut-turut di salah satu kota termiskin di Lebanon, tempat para pengunjuk rasa mencerca karantina ketat.
Karantina dirasakan telah membuat mereka tidak memiliki sarana untuk sintas dari keruntuhan ekonomi negara itu. Pemerintah memberlakukan jam malam 24 jam awal bulan ini dalam upaya mengekang wabah Covid-19 yang membuat lebih dari 2.500 orang meninggal.
Kalangan pekerja bantuan memperingatkan bahwa dengan sedikit atau tanpa bantuan, karantina menambah kesulitan ekstra pada orang miskin, sekarang lebih dari setengah populasi. Banyak yang mengandalkan upah harian. Keruntuhan finansial, yang menghancurkan mata uang, menimbulkan risiko terbesar bagi stabilitas Lebanon sejak perang saudara 1975-1990
"Orang-orang lelah. Ada kemiskinan, kesengsaraan, karantina, dan tidak ada pekerjaan. Masalah kami adalah para politisi," kata Samir Agha dalam protes di Tripoli sebelum bentrokan meletus pada Rabu (27/1) malam.
Palang Merah mengatakan penyelamat merawat sedikitnya 67 orang karena cedera dan membawa 35 lainnya ke rumah sakit. Kantor berita negara melaporkan bahwa 226 pengunjuk rasa dan polisi terluka.
Pasukan Keamanan Dalam Negeri Lebanon menulis dalam cuitan bahwa "granat tangan" dilemparkan dan melukai sembilan petugas. Mereka berjanji untuk menangani para perusuh dengan "keseriusan dan ketegasan penuh".
Sebelumnya pada Rabu, pengemban sementara Perdana Menteri Hassan Diab mengatakan karantina diperlukan untuk menahan virus. Diab mengakui bantuan pemerintah tidak cukup untuk menutupi kebutuhan tapi mengatakan itu akan membantu "mengurangi beban".
Tanggapan Covid-19 juga telah memicu kemarahan di Beirut, tempat infeksi mencapai beberapa tingkat tertinggi di kawasan itu dan banyak bangsal di ruang rawat intensif penuh.
Pasien membanjiri rumah-rumah sakit, yang berjibaku dengan kekurangan dolar dan beberapa rusak akibat ledakan pelabuhan pada Agustus. Kabinet Diab mengundurkan diri karena ledakan besar itu, yang menghancurkan sebagian besar Beirut dan menewaskan 200 orang.