REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Instrumen keuangan syariah yang ada di Indonesia dinilai belum bisa memenuhi kebutuhan dari umat Muslim. Sehingga kesempatan itu diambil institusi yang tidak cocok dengan umat Islam.
Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Ekonomi dan Daya Saing Sekretariat Wakil Presiden, Ahmad Erani Yustika menyebut minat masyarakat terhadap syariah sebagai mobilitas vertikal, yang kurang direspons oleh penyedia intrumen ekonomi, baik pemerintah, BUMN, maupun swasta.
"Akibat keterbatasan instrumen ekonomi termasuk keuangan digital, akhirnya kebutuhan itu diambil alih atau diisi oleh institusi atau kelompok yang secara definisi sebetulnya tidak bisa dilekatkan dengan tata cara atau prosedur, jenis, instrumen ekonomi kaum Muslimin," kata Erani menjelaskan dalam Webinar Rabu Hijrah, Rabu (27/1).
Padahal, kelas menengah Indonesia mayoritas dihuni oleh umat Muslim. Dari total populasi Muslim dewasa Indonesia yang mencapai 161 juta orang, sebanyak 54,2 persen berada di tataran menengah ke bawah, 39 persen berada di posisi menengah ke atas dan hanya 5,9 persen di posisi kelas atas atau elit.
Kelas menengah tersebut masuk dalam kategori melek ekonomi, memiliki literasi dan tingkat pendidikan yang tinggi. Dari sisi ekonomi, kelas menengah memiliki pendapatan cukup tinggi sehingga punya pengaruh besar dalam menggerakkan perekonomian.
Menurut Erani, kebutuhan kelas menengah seharusnya dipenuhi oleh lembaga keuangan syariah. Dengan bergabungnya tiga bank syariah anak usaha BUMN, tambahnya, dapat menjadi ikhtiar untuk membuat instrumen yang lebih adaptif dan mengakomodir kebutuhan mobilitas vertikal tersebut.
"Meski terlambat, ini langkah yang tetap harus dilakukan, jadi tidak ada kesenjangan antara mobilitas vertikal dengan ketersediaan instrumen keuangan yang sesuai," kata Erani.
Sehingga aksi korporasi dan pergerakan sosial ada di satu lini yang sejajar.