REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekjen Antonio Guterres serta Dewan Keamanan PBB pada Kamis (29/1) menyeru ribuan pasukan dan tentara bayaran asing agar segera meninggalkan Libya, dan Guterrres meminta mereka "jangan campuri Libya."
Libya terpecah sejak 2014 antara Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA), yang diakui dunia, di ibu Kota Tripoli di wilayah barat dan Militer Nasional Libya (LNA) pimpinan Khalifa Haftar, yang berbasis di wilayah timur. Kedua pemerintahan saingan itu menyepakati gencatan senjata pada Oktober, tetapi belum angkat kaki. Haftar didukung oleh Uni Emirat Arab (UAE), Mesir, dan Rusia. Pemerintah GNA mendapat dukungan dari Turki.
"Gencatan senjata masih berlangsung," kaya Guterres kepada wartawan, Kamis (29/1).
"Penting agar seluruh pasukan asing dan seluruh tentara bayaran asing terlebih dahulu bergeser ke Benghazi dan ke Tripoli dan, dari sana, mundur dan tinggalkan Libya, sebab warga Libya telah membuktikan bahwa, dengan tanpa campur tangan, mereka mampu menyelesaikan masalah-masalahnya," kata Guterres.
Libya awalnya mengalami kekacauan pascapenggulingan pimpinan Muammar Gaddafi pada 2011. Dewan Keamanan (DK) PBB pada Kamis (28/1) membahas situasi Libya.