REPUBLIKA.CO.ID, Pandemi menghantam usaha warteg milik Tasori (47 tahun) terlalu dalam. Tasori sudah berupaya untuk bertahan, tapi gagal. Ia akhirnya terpaksa menutup warteg-nya yang berlokasi di Jalan Kartini, Sawah Besar, Jakarta Pusat, itu sejak Juni lalu.
"Dulu di situ usaha sangat hidup. Konsumen saya itu 70 persen pekerja kantoran dan 30 persen warga sekitar. Tapi sejak pandemi kan perkantoran pada tutup," kata Tasori kepada Republika, Rabu (27/1).
Seiring mulai menurunnya omzet, Tasori pun mulai memecat tiga pekerjanya pada masa awal pandemi atau sekitar April 2020. "Yang kerja tinggal saya dan istri saja saat itu," ujar dia.
Penghematan semacam itu ternyata tak cukup untuk menyelamatkan warteg 'Berkah' miliknya dari badai virus corona. Tasori mulai kehilangan akal ketika pemilik tempat meminta biaya sewa yang nilainya Rp 43 juta per tahun.
"Makanya saya tutup saja sejak Juni 2020. Padahal saya sudah tiga tahun jualan di sana," kata dia.
Ada yang tumbang, ada yang sekarat. Salah satu yang sekarat itu adalah Warteg CBN yang berlokasi di Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat. Dian (38), pemilik warteg CBN, mengaku omzetnya anjlok 70 persen sejak pandemi Covid-19. Sebabnya karena tak ada lagi karyawan perkantoran yang makan di tempatnya. "Sekarang orang WFH, jadi tidak ada lagi yang makan," kata Dian.
Namun Dian mengaku masih bisa bertahan kendati setiap tahun harus membayar biar kontrak kios Rp 60 juta. "Ya cara saya bertahan dengan ngurangin setengah karyawan sejak April dan juga ngurangin belanja bahan baku," kata dia.
Dian tak tahu sampai kapan ia bisa bertahan dengan kondisi seperti ini. Ia juga tak punya alternatif usaha lain. "Ya harapan kita sekarang agar virus corona ini segera selesai, lah. Orang pada ke kantor dan makan di sini lagi," ujar dia berharap.
Pemilik warteg lainnya di Jalan Pajajaran, Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan, Karyo (65) mengatakan, pendapatannya merosot selama pandemi. Pendapatan kalau hari normal bisa lebih dari Rp 1 juta. “Kondisi saat ini sampai jelang sore baru Rp 200 ribu," kata Karyo.
Meskipun mengalami penurunan pendapatan, Karyo mengaku tidak ada pilihan selain bertahan. Pasalnya, dia tidak memiliki alternatif pekerjaan lain selain berdagang di warteg. "Tetap bertahan sih. Mau gimana lagi. Pulang kampung juga bingung mau kerja apa. Jadi tetap berjalan saja di sini, walaupun ya begini," ujar dia.
Pemilik warteg di Jalan Kesehatan, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Ruqoyah (45) juga mengakui, tahun ini merupakan tahun tersulitnya selama enam tahun dia berjualan. Wanita asal Tegal ini mengatakan, omzet penjualan di warteg miliknya berkurang hampir 50 persen sejak awal pandemi, tepatnya Maret 2020.
“Berkurang banget (omzet), jauh banget hampir separuh lebih,” ujar Ruqoyah.
Selain pembeli yang berkurang, kesulitan yang dihadapi Ruqoyah juga berasal dari naiknya harga bahan baku. Dia pun bimbang untuk tetap mempertahankan kualitas, namun tidak bisa menaikkan harga makanan yang dijualnya.
Mengenai kabar ribuan warteg di Jabodetabek yang gulung tikar, Ruqoyah mengaku mendengar berita tersebut. Dia pun merasa sedih melihat teman sesama profesinya banyak yang tergerus dampak pandemi Covid-19.
Ketua Ketua Komunitas Warteg Nusantara (Kowantara), Mukroni, mengatakan, memang banyak usaha warteg yang sudah dan atau akan tutup karena pandemi Covid-19. Ia memperkirakan angkanya hingga 20 ribu usaha warteg yang akan tutup di Jabodetabek.
"Itu jumlahnya sekitar 50 persen dari jumlah pengusaha warteg di Jabodetabek," kata Mukroni.