REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Penasihat keamanan nasional untuk mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Robert O'Brien, mengatakan Trump berusaha membangun "modal politik" dengan Israel. Salah satu cara untuk membangun modal politik itu adalah melalui pemindahan kedutaan AS ke Yerusalem dan mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan.
"Kami tidak dapat membiarkan Palestina berdiri sebagai penghalang jalan menuju perdamaian Timur Tengah yang lebih luas," kata O'Brien, menjelaskan untuk pertama kalinya sejak meninggalkan jabatannya strategi di balik langkah diplomatik Trump dilansir Aljazirah, Sabtu (30/1).
Mantan Presiden Trump memalsukan perjanjian normalisasi yang disebut Abraham Accords antara Israel, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain pada September 2020. Perjanjian tambahan dicapai untuk memasukkan Maroko pada Desember dan Sudan pada Januari.
Pada 2017 Trump mengumumkan bahwa AS akan memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem dan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Langkah itu dirayakan di Israel tetapi secara luas dikutuk oleh negara lain karena merugikan kepentingan Palestina yang didukung secara internasional.
Trump secara sepihak mengakui kedaulatan Israel atas Golan pada 2019 dan melanggar hukum internasional. Diketahui Israel telah merebut wilayah itu dari Suriah dalam Perang Enam Hari tahun 1967.
“Ini adalah fakta yang tidak akan pernah berubah di lapangan. Yerusalem tidak akan pernah berubah menjadi ibu kota Israel. Israel tidak akan pernah mengembalikan Dataran Tinggi Golan ke Assad atau rezim lain di Suriah," kata O'Brien.
“Kami melakukan hal yang sama. Kami membangun modal politik dengan Bahrain, Maroko, dan UEA dengan memberi tahu mereka bahwa kami akan mendukung mereka, dengan keluar dari kesepakatan nuklir Iran yang merupakan ancaman serius bagi kawasan", kata O'Brien menambahkan.
Trump secara sepihak menarik diri pada 2018 dari perjanjian nuklir Iran 2015 (JCPOA) yang telah dinegosiasikan oleh pendahulunya Presiden Barack Obama. Sekarang, Presiden Biden bergerak untuk membuka negosiasi dengan Iran untuk menghidupkan kembali perjanjian tersebut.
"Kami kemudian mengambil modal itu dan menggunakannya untuk menyatukan semua pihak dan melihat apakah kami dapat membuat mereka mencapai kesepakatan, yang kami lakukan," kata O'Brien.
O'Brien menerangkan negara-negara Arab lainnya kemungkinan akan bergabung dengan Abraham Accords karena mereka melihat manfaat ekonomi dan hubungan baru tersebut akan memungkinkan AS untuk menarik beberapa pasukan militernya di wilayah mereka. Di antara manfaatnya, O'Brien mengatakan perjanjian itu harus memungkinkan pengusaha Israel untuk mengumpulkan modal dari dana kekayaan kedaulatan Arab.
"Ini membuat China keluar dari sektor teknologi Israel sampai batas tertentu, yang merupakan sesuatu yang saya perhatikan dengan sangat hati-hati," kata O'Brien.
O'Brien mengemukakan pernyataan tersebut dalam diskusi panel yang diselenggarakan oleh Institut AS untuk Perdamaian di Washington. Penasihat Keamanan Nasional Presiden Joe Biden, Jake Sullivan, turut hadir dalam acara diskusi itu.
O'Brien mengatakan dia masih mengharapkan kesepakatan damai antara Israel dan Palestina. Dia juga menyarankan agar negara-negara Arab lainnya seperti Arab Saudi akan bergabung dengan Abraham Accords di masa mendatang. Dia berpendapat negara-negara Eropa akan membantu ketika melihat keberhasilan dari Abraham Accords tersebut.
"Kami tidak bisa meraih Palestina. Namun kami akan melakukan pendekatan halus dan tegas yang akan membawa mereka ke meja (perundingan)," kata O'Brien.