REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tindak pidana pencucian uang (TPPU) Dr Yenti Ganarsih mengingatkan, penyitaan aset yang terkait TPPU harus hati-hati. Hal itu khususnya terkait penyitaan aset hasil korupsi yang terjadi di lembaga yang mengelola dana publik atau institusi keuangan, seperti asuransi dan pasar modal.
"Jangan sampai penyitaan aset ini merugikan pihak ketiga yang beriktikad baik, dalam hal ini para nasabah pemegang polis dan investor yang memiliki rekening efek atau saham di pasar modal yang tidak terkait perkara yang asetnya ikut dirampas," kata Yenti Ganarsih dalam webinar bertema Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi yang Disertai TPPU pada Masa Pandemidi Jakarta, Sabtu (31/1).
Menurut dia, hal itu berbahaya karena menyangkut persepsi dan kepercayaan publik, khususnya investor terhadap pasar modal. Ketidakpercayaan ini pada akhirnya bisa mengganggu upaya pemerintah dalam melaksanakan program pemulihan ekonomi.
Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) ini mengatakan, ketidakhati-hatian dalam penyitaan aset yang berkaitan dengan TPPU berpotensi menimbulkan double punishment oleh negara dalam satu perkara korupsi.
Dalam perkara TPPU, penyidik memberlakukan Pasal 18 UU Tipikor sebagai persiapan uang pengganti. Hal ini tecermin dari jumlah aset yang disita dalam kasus Jiwasraya sebesar Rp 18 triliun yang ternyata melebihi kerugian negara berdasarkan audit BPK sebesar Rp 16,8 triliun.
Yenti mengatakan, penanganan tidak hanya menyangkut upaya pemberantasan korupsinya. Namun, ia mengatakan, perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang beriktikad baik yang ikut terkena dampak.
Pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Dr Chairul Huda mengakui, ada pemahaman atau cara pandang yang salah dari aparat penegak hukum dalam hal penyitaan aset yang terkait pihak ketiga dalam penanganan perkara pidana korupsi. Menurut Chairul, hal ini tidak hanya terjadi dalam kasus Jiwasraya, tetapi juga pernah terjadi dalam kasus penggelapan di First Travel beberapa tahun lalu.
Dalam kasus tersebut, kata dia, penyidik merampas aset yang notabene berasal dari dana milik korban penipuan untuk diserahkan ke negara. Chairul mengatakan, penyidik dalam beberapa kasus cenderung lebih dahulu melakukan penyitaan tanpa memeriksa atau memverifikasi apakah aset-aset tersebut benar-benar terkait dengan hasil korupsi atau pencucian uang (TPPU).
Kondisi ini menimbulkan masalah baru, berupa maraknya keberatan sita dari pihak ketiga yang merasa dirugikan. Saat ini, lanjut Chairul, setidaknya ada 83 keberatan sita dari pihak ketiga sebab penyitaan aset Jiwasraya.
Dalam Pasal 19 UU Tipikor, kata dia, memberikan ruang bagi pihak ketiga yang merasa dirugikan untuk mengajukan keberatan. "Masalahnya, hal ini berpotensi menimbulkan problem eksekusi di mana ada putusan pengadilan yang merampas aset pihak ketiga, di satu sisi putusan yang mengabulkan gugatan keberatan, seperti apa mekanisme putusannya, karena sampai saat ini tidak hukum acara yang mengatur mengenai gugatan keberatan tersebut," ujarnya.