REPUBLIKA.CO.ID, Meski tak segemerlap nama para kiai Nahdlatul Ulama lainnya, bakti Kiai Muslich kepada agama dan bangsa tak pernah disangsikan. Seluruh hidupnya sarat dengan nilai-nilai perjuangan. Kiai Muslich pernah dipenjara karena berbagai sebab selain tindak kriminal.
Kiai kelahiran Desa Tambaknegara, Kabupaten Banyumas itu pernah dipenjara karena fitnah hingga melawan penjajah. Dia pun pernah diburu oleh Belanda sehingga harus menyembunyikan diri dari lingkungan. Tak jarang dia melakukan kamuflase agar dikira sudah mati. Bukan hanya Kiai Muslich yang menanggung beban jadi buruan penjajah. Saat keluar-masuk penjara pada masa pendudukan Jepang, keluarganya harus menjalani kehidupan ekonomi yang serbaterbatas. Sampai-sampai, istrinya mesti berjualan pecel.
Menurut Anif Punto Utomo dalam Kesederhanaan dan Jejak-Jejak Perjuangan KH Muslich, kiai kelahiran tahun 1910 itu pernah diutus untuk menemui pimpinan DI/TII Kartosuwiryo. Kiai Muslich dan Kartosuwiryo memiliki kedekatan saat bersama-sama aktif di PSII. Hanya, meski sama-sama merupakan aktivis Islam, mereka memiliki pemikiran yang berbeda. Kartosuwiryo lebih berbasis pada pemikiran Islam modern, sementara Kiai Muslich berbasis pada NU yang menggabungkan Islam dengan nilai-nilai budaya nusantara.
Kiai Muslich pun berhasil menemui Kartosuwiryo di persembunyiannya di balik hutan Gunung Galunggung. Mereka saling berangkulan dan mengucap salam layaknya dua sahabat yang lama tak bertemu. Kiai Muslich kemudian menyampaikan kepada Kartosuwiryo jika dia diutus pemerintah yang menginginkan agar Kartosuwiryo berunding dan menghentikan gerakan bersenjata.
Kartosuwiryo sempat melunak. Dia berjanji akan mempertimbangkan tawaran Kiai Muslich. Setelah itu, Kiai Muslich pamit. Kartosuwiryo lantas mengutus pengawal kepercayaannya untuk menjaga Kiai Muslich agar selamat sampai tujuan.
Sayangnya, di tengah perjalanan mereka bertemu dengan tentara yang sedang memburu Kartosuwiryo. Baku tembak terjadi dan Kiai Muslich bersembunyi. Pengawal Kartosuwiryo tewas. Setelah peristiwa itu, Kartosuwiryo tak bersedia berunding kembali dengan pemerintah.
Kiai Muslich merupakan sosok sederhana dengan prestasi yang raksasa. Penulis pun menggambarkan betapa Kiai Muslich merupakan seorang yang teguh memegang prinsip dan tidak tergiur dengan jabatan. Dia bahkan tidak meminta haknya sebagai seorang pensiunan tentara untuk mendapat uang pensiun lebih.
Kiai Muslich juga merupakan sosok kiai yang komplet. Dia bukan hanya sekadar kiai. Dia menjadi pengusaha sukses, tentara, pejabat tinggi Kementerian Agama, dan anggota DPR. Jalan hidup yang berliku pun membawa Kiai Muslich berpindah rumah. Dari Purwokerto, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Semarang, Jakarta, hingga Pematang Siantar dan Bukittinggi.