Selasa 02 Feb 2021 06:58 WIB

Empat Jenis Hijrah dalam Fiqih Islam

Fiqih mendefinisikan istilah hijrah.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Muhammad Hafil
Empat Jenis Hijrah dalam Fiqih Islam. Foto: Ilustrasi peristiwa hijrah.
Foto: republika.co.id
Empat Jenis Hijrah dalam Fiqih Islam. Foto: Ilustrasi peristiwa hijrah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ulama mendefinisikan istilah hijrah dalam fiqih dengan definisi yang berbeda tergantung pada konteksnya.

Dalam buku Hijrah Dalam Perspektif Fiqih Islam karya Isnan Ansory, terdapat empat jenis hijrah.

Baca Juga

Pertama, hajr al-akh al-muslim adalah mengambil sikap untuk menjauhi dan tidak berkomunikasi dengan sesama saudara muslim  karena disebabkan suatu permusuhan atau persengketaan.

Para ulama sepakat bahwa melakukan hijrah terhadap sesaudara muslim adalah haram jika sampai melebihi tiga hari sejak pertikaian itu terjadi. Bahkan ada ancaman neraka jika hijrah ini telah melewati tiga hari dan di antara mereka tetap bermusuhan.

Dari Abu Ayyub al-Anshari,  bersabda: “Tidak halal bagi seorang muslim tidak bersapaan dengan saudaranya (sesama muslim) lebih dari tiga malam. Keduanya saling bertemu, tetapi mereka saling tak acuh satu sama lain. Yang paling baik di antara keduanya ialah yang lebih dahulu memberi salam.” (HR. Bukhari Muslim).

Kedua, Hajr al-maal bermakna hijrah karena harta. Artinya menahan harta untuk tidak digunakan oleh pemilik harta karena sebab tertentu. Pada dasarnya, Islam memberikan kebebasan kepada pemilik harta untuk menggunakan hartanya pada hal-hal yang dibolehkan.

Hanya saja, dalam kondisi tertentu, harta tersebut dapat ditahan oleh pihak yang diberi wewenang oleh syariat untuk menahannya jika dalam penggunaannya dapat menyebabkan bahaya atau kerugian untuk pemilik harta atau pihak yang terkait dengannya.

Atas dasar ini, hajr al-maal dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu, hijrah harta untuk kemashlahatan mahjur ‘alaihi (pemilik harta yang hartanya dihijrahkan) dan hijrah harta yang dimiliki mahjur ‘alaihi untuk kemashlahatan pihak lain yang terkait dengan mahjur ‘alaihi.

Ketiga, terkait dengan hubungan antara suami istri. Jika istri tidak melaksanakan kewajibannya kepada suami, maka suami berhak untuk mendidik istrinya.

Salah satu jenis didikan yang dibolehkan oleh syariat kepada suami atas istrinya adalah al-hajr fi al-madhoji’ (atau berpisah secara fisik dari tempat tidur dalam rangka memberikan didikan psikologis kepada istrinya.

Di mana kemaksiatan yang dilakukan istri terhadap hak suami, disebut dalam fiqih dengan istilah nusyuz. Istri yang melakukan hal tersebut disebut dengan naasyiz atau nasyizah.

Perbuatan ini termasuk kufur tidak sampai mengeluarkan seorang muslim dari agamanya yang disebut oleh Nabi dengan istilah kufron asyir-‘al. Hal ini dijelaskan dalam Alquran Surah Annisa ayat 34:

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya

tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah

Maha Tinggi lagi Maha Besar,".

Jenis hijrah yang keempat adalah hajr al-mujahir bi al-ma’shiyat. Hijrah ini adalah tidak menjalin komunikasi kepada orang- orang yang secara sengaja menampakkan perbuatan maksiatnya.

Hijrah jenis inilah yang pernah Rasulullah terapkan sebagai hukuman kepada tiga sahabatnya (Ka’ab bin Malik, Muroroh bin Rabi’ dan Hilal bin Umayyah) yang meninggalkan jihad saat perang Tabuk hingga turun ayat yang menerima taubat mereka dalam At Taubah ayat 118.

 

"Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dar(siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja.  Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang,".

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement